Dr. Abla Ghanie, Sp THT (K) adalah sosok yang mungkin langka ditemui di kota Palembang. Tak hanya dicintai oleh keluarga, bahkan teman sejawat hingga pasiennya sendiri merasakan kehangatan dokter spesialis THT ini. Ramah, humanis serta murah senyum, membuatnya ditunjuk menjabat sebagai ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Palembang sejak tahun 2011 dan sebagai Duta Zakat Dompet Dhuafa Sumatera Selatan. Bagaimana kisahnya dalam menyeimbangkan antara keluarga dengan karir? Berikut liputannya :
Selama berkarir sebagai seorang dokter, saya mendapat kemudahan dari suami yang memiliki peranan penuh dalam mendukung. Karena tanpa dukungan dari suami, takkan mungkin saya bisa berkarir secara masksimal.
Dulu saya kan seorang dokter umum. Ketika saya bersekolah lagi ambil spesialis, suami saya sangat menunjang. Dan beliau sangat membantu. Karena saya meneruskan sekolah saya yang dulu, bukan di Palembang tapi di Surabaya.
Dengan restu suami, saya bawa tiga orang anak yang masih kecil-kecil berangkat ke Surabaya. Saat itu anak saya duduk di kelas 3, kelas 2 SD dan yang bungsu duduk di bangku TK. Sedangkan suami tinggal di Palembang mencari nafkah.
Alhamdulillah dengan kekompakan, kami bisa melewati masa-masa yang paling sulit tersebut. Sebenarnya, saya itu berat sekali mengambil spesialis. Bagaimana tidak, saat saya dapat jadwal jaga malam, ketiga anak saya bawa ke Rumah Sakit.
Terus terang, saya itu ambisius orangnya. Pikiran saya, kalau saya maju maka anak juga harus maju. Jadi dengan menginap, saya tetap bisa berdekatan dengan mereka. Besok paginya, sekitar jam 5 pagi mereka sudah saya siapkan. Nanti tinggal supir yang jemput. Sedangkan suami, setiap dua minggu sekali datang ke Surabaya.
Sedangkan, jika pada hari biasa, anak-anak di rumah, saya siapkan seorang ibu pengasuh. Saya sangat terbantu. Dari ibu inilah saya berusaha memberikan pendidikan agama, seperti shalat Zuhur dan Ashar.
Suami saya itu orangnya sederhana. Ia membolehkan saya mau beraktivitas apa saja, asal tidak melupakan kewajiban saya sebagai seorang ibu rumah tangga. Pokoknya urusan rumah tangga saya yang tanggung jawab. Terutama soal makan dan minum.
Saya itu di lingkungan THT Rumah Sakit ini sudah terkenal bisa masak (tersenyum). Masakan gulai kambing dan nasi minyak saya enak lho. Soalnya sejak muda saya mempersiapkan sendiri masakan untuk keluarga. Di awal-awal, saya juga sering berbagi resep kue dengan para suster-suster. Saya juga sering bilang, sebagai seorang wanita kita harus mampu menjalankan fungsi sebagai seorang ibu rumah tangga dan juga sebagai wanita karir yang baik. Percayalah, tidak ada yang sulit asalkan kita tahu ilmunya dan mau bekerja keras.
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana cara saya mempersiapkan masakan untuk keluarga padahal saya cukup sibuk di luar. Jadi, saya itu kalo Sabtu sore, setelah pulang kerja kan kosong, jadi saya belanja kebutuhan dapur sama lauk-pauknya selama satu minggu. Nah, setelah itu saya akan masak sesuai menu, setengah matang lalu dimasukkan ke dalam freezer. Baru nanti pada saat akan dimakan, dikukus lalu digoreng. Itu tadi misal dimasak ungkep.
Soal yang ini, saya ingat suami. Dia itu lucu orangnya. Sering kali pulang ke rumah membawa teman-temannya dan makan di rumah. Seharusnya kan saya kaget, nah lho janjiannya saja kapan, pikir saya. Namun dengan persiapan yang seperti saya sebutkan di atas, maka tidak menjadi soal.
Dengan anak-anak juga begitu. Malamnya mereka tinggal menulis besok mau makan apa. Mau pizza, misalkan, ya tinggal buat saja. Bahannya kan sudah ada.
Dalam mendidik anak juga demikian. Di Palembang ini orang mungkin sudah paham. Bahwa kalau musim ujian sekolah, maka saya tidak akan membuka praktik. Saya akan konsen mendampingi anak-anak dalam mempersiapkan ujiannya. Mulai dari membuat ringkasan materi sampai bantu membuat kemungkinan soal-soal yang akan keluar. Karena saya kan guru, jadi buku pelajaran anak, saya baca dan ambil inti sarinya.
Wanita harus Mandiri
Saya berpesan kepada para wanita, harus bisa mandiri. Bukannya mengajak untuk berpikir negarif. Jika nanti pada suatu saat suami kita ada apa-apanya, maka kita sudah siap untuk mengurus keluarga. Jangan sampai terjadi seperti mama saya. Papa meninggal saat kami masih kecil-kecil. Mama saya juga bilang, bahwa wanita itu harus mandiri, nggak usah kaya-kaya amat. Minimal untuk sekolah dan kehidupan sehari-hari yang baik-baik.
Dan tolonglah kepada para suami untuk mengizinkan para istri agar mandiri. Dalam profesi apapun. Misal ia punya keterampilan main piano, ajarkan ia piano. Ambil les piano. Sehingga, jika nanti terjadi apa-apa dengan partner, minimal ia bisa menghidupi keluarganya. (KJ-04)