EDY SUTARYO (34), Marbot Masjid
Saya berasal dari Tegal. Merantau ke Palembang setelah lulus SMA. Selain menjadi marbot, juga mengajar TPA (Taman Pendidikan Al Quran, red) di lingkungan masjid. Sedang istri saya (Ivoni Noviyanti) buka usaha jahitan di rumah. Alhamdulillah, ada saja orang yang minta bantu menjahit ke istri. Anak saya satu di pesantren ikut Kyai Nawawi, satunya ini masih balita.
Kalau ditanya suka dan duka menjadi marbot, ya banyak sekali. Sukanya, insyaallah yang jelas shalat berjamaahnya tidak pernah tinggal. Suka yang lainnya, mudah bersilaturahim. Berjumpa dengan banyak orang, karena orang yang jalan ke sini. Sedangkan kita mantap, jadi banyak mengenal orang bahkan ada salah satu jemaah yang menjadi akrab karena sering cerita-cerita banyak hal.
Dukanya, kalo ada jamaah yang kehilangan. Mulai dari sandal, sepatu sampai ada juga yang kehilangan sepeda motor. Ya Allah rasanya tidak enak sekali, saya minta maaf nian tidak bisa mengamankan barang-barang jamaah. Kadang juga, sebelum imam tetap masuk dan memimpin shalat, keliling dulu lihat sandal dan sepatu. Kira-kira kalau ada yang bagus, saya masukkan masjid. Walaupun sebenarnya dilarang masukkan sandal ke masjid. Takutnya, setelah ada kehilangan, biasanya jamaah itu tidak shalat disini lagi.
Dukanya yang lain, saya nggak bisa pulang ziarah ke Jawa. Terakhir pulang tahun 2004. Itu pun sebelum menjadi marbot. Setelah jadi marbot, saya lebih sering tinggal di lingkungan masjid saja.
Saya menjadi marbot sejak bulan Mei 2006, kalo jadi jamaah masjid ini (Masjid Al Maghfirah, red) sudah sejak tahun 1999. Jadi sudah enam tahun. Sebelumnya saya berjualan di Beringin Janggut, Pasar 16 Ilir. Jualan VCD di kaki lima. Laris memang, tapi selama berjualan, saya sering mikir dalam hati.
“Ya Allah berdosa ndak saya ini? Saya kasih makan anak orang (istri dan anak, red) dengan berjualan film bajakan. Ini banyak film-film aneh, walaupun tidak vulgar, tapi cover –nya banyak yang aneh-aneh. Bagaimana dengan shalat saya? Diterima nggak?” Saya terus mikir.
Lalu, saat berjualan itu sempat juga ditipu. Ada kawan yang mengambil kaset sebanyak 1000 biji. Katanya sih, mau bantuin jual di Baturaja. Tapi sampai sekarang, sekeping pun VCD tidak ada yang kembali. Ia sempat ngasih uang Rp 300 ribu, tapi karena saking kesalnya uang itu saya belikan nasi dan bagikan ke kawan-kawan. Mungkin karena uang syubhat. Saat itu saya merugi sekitar Rp 4 jutaan.
Sekarang setelah menjadi marbot, pendapatan saya memang lebih kecil dari segi jumlah, tapi lancar-lancar saja, lebih tenang. Dibanding saat berjualan di pasar, mengumpulkan uang. Mungkin karena duit panas ya, waktu jualan itu? (tersenyum). Ada perbedaan memang.
Sejak kejadian itu saya sering berdoa, “Ya Allah pertemukan aku dengan orang yang akan membuka pintu rezeki aku”. Ini pun sebenarnya tidak disangka-sangka. Saya ditawari oleh salah seorang bapak jamaah masjid ini untuk ikut program umrah oleh DSIM. Padahal dengan bapak itu, saya tidak pernah ngobrol-ngobrol. Tapi mungkin, selama ini dia banyak memperhatikan saya, pekerjaan saya sebagai marbot.
Menjadi marbot memang banyak suka dukanya. Tapi tergantung kitanya, asal kita senang menerimanya insyaallah tidak akan menjadi beban malah menjadikan kita bisa shalat lima waktu tepat waktu dan berjamaah pula. (KJ-04)
—-
Foto: Anton DC / DSIM
Kediaman Edy Sutaryo di Jl. Rambutan, Komplek Masjid Al Maghfiroh, Ilir Barat II, Palembang. Kamis (24/5) Edy diberangkatkan dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.