Setelah zakat, infak dan sedekah, instrumen selanjutnya yang dapat diberdayakan dalam hal filantropi Islam adalah wakaf. Dalam masyarakat, wakaf sendiri sudah akrab dikenal. Ada yang mewakafkan tanah yang dimilikinya untuk didirikan masjid, madrasah atau fasilitas umum lainnya. Ada yang mewakafkan pemanfaatan tanah untuk dikelola di atasnya dan hasilnya kemudian disedekahkan. Ada juga yang mewakafkan bahan material yang ia miliki untuk dimanfaatkan dalam pembangunan fisik. Dan berbagai bentuk fisik lainnya.
Secara etimologi, wakaf berasal dari Waqf yang berarti al-Habs : menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam, wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syariat.
Dalilnya, di antaranya disandarkan pada hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, : “Ia berkata : ‘Bahwa sahabat Umar Ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar Ra menghadap Rasulullah Saw untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah Saw, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah Saw bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). “kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).
Lalu, apa pula itu Wakaf Tunai? Bukankah wakaf biasanya identik dengan harta yang berbentuk fisik? Tentang hal ini, Ulama yang pertama kali menganjurkan wakaf tunai adalah Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, di mana ia mulai memperbolehkan berwakaf dengan dinar dan dirham (mata uang kala itu).
Sedangkan kita di Indonesia, wakaf tunai telah mendapat payung hukum secara syariah. Hal ini termaktub dalam fatwa Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.” Sedangkan secara legal-formal, pemerintah telah menerbitkan UU No 41/2004 yang mengatur tentang Wakaf ini.
Definisi
Wakaf Tunai adalah donasi wakaf berupa uang tunai atau barang berharga di mana pencatatan nominal wakafnya sesuai pada tanggal penyerahan. Donasi ini akan dicatatkan sesuai peruntukan manfaatnya (Sehati, Cendikia, Hasanah) hingga terkumpul cukup modal untuk diinvestasikan pada sebuah aset produktif yang ditetapkan oleh pengelola. Surplus atas aset produktif tersebut yang kemudian akan didayagunakan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam. Sebagaimana dikutip KH Didin Hafidhuddin, Imam Az Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan dalam bentuk uang, untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian, istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf.
Sebenarnya, wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik.
Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di mana untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya adalah hartanya harus melebihi nishab.
Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya.
Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negaRa Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Melihat potensinya tersebut, DSIM selaku Lembaga Amil Zakat dan Pemberdayaan yang ada di Palembang, tengah menjalankan program Wakaf Tanah Produktif yakni wakaf tunai untuk membebaskan lahan seluas 40.000 m2 yang ditujukan untuk mendirikan Pusat Pelatihan dan Pemberdayaan Petani (P4) yang berlokasi Desa Sri Menanti, Kecamatan Tanjung Lago, Banyuasin.
Saat ini, donasi yang telah terhimpun hingga 10 Juli 2012, senilai 11.362m2 yang sebagiannya telah dibebaskan dalam tahap pertama seluas 8.000 m2. Masih dibutuhkan 28.638 m2.
Wakaf Tanah Produktif sendiri merupakan program ‘keroyokan’ yang memungkinkan para donatur dan calon donatur untuk berpartisipasi dalam program tersebut dengan nominal donasi yang sangat terjangkau. Yakni dengan hanya Rp 6.500,- setiap donatur telah berdonasi seluas 1 m2 tanpa batasan minimal atau maksimum. Untuk berdonasi dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi kantor DSIM yang berlokasi di Jalan Angkatan 66 No 435 C, Sekip Ujung Palembang, 0711 – 814234, SMS Centre 0811 – 713746. Jadi, berwakaf tidak perlu lagi menunggu jadi pemilik tanah. (*)