Sucipto : Rela Melakukan Semuanya Agar Bisa Pulang

Bermaksud hendak menjenguk ibunya yang sakit, rupanya sang ibu sudah meninggal tiga hari sebelumnya. Ia dan istri cuma dua hari di sana untuk kemudian kembali pulang ke Surabaya. Naas, saat berada di Kota Jambi, mereka harus kehilangan tas yang berisi uang dan bekal yang tersisa.

“Saya datang ke Riau menjenguk ibu mertua yang dikabarkan tengah sakit. Tapi rupanya, tetangga dan keponakan tidak tega mengabarkan bahwa sebenarnya ibu saya sudah meninggal tiga hari sebelumnya. Jadinya, saya dan istri berangkat ke sana, estafet numpak kereta. Karena istri saya tidak tahan naik bis langsung”, ujar Sucipto saat mampir di kantor DD Sumsel, Jumat (5/7).

Setelah tahu bahwa ibunya sudah tidak ada, ia dan istri hanya mengikut takziyah satu malam. Keesokan hari, mereka pun pulang. Semula semua berjalan lancar sebagaimana keberangkatannya. Namun saat di terminal Jambi, ketika ia dan istri turun dari bis hendak mencari makan dan kembali lagi, tas yang berisi uang telah raib dari tempat duduk mereka. “Padahal kan ada tas lain, kok ya malingnya tahu mana tas yang berisi uang”, gusarnya.

Sempat kelimpungan, akhirnya ia memberanikan diri untuk mencari cara. “Pokoknya pikiran saya waktu itu bagaimana caranya pulang, walau uang tidak ada. Sempat terpikir mau jual hape, tapi ya hape kayak gini, dijual lima puluh ribu juga nggak ada yang mau”, ceritanya.

Ia pun melapor ke kantor polisi, dan diajak menginap oleh polisi yang jaga saat itu. “Polisi itu bilang, ‘Udah, sekarang bapak istirahat saja dulu di sini, sudah malam. Besok kita carikan mobil yang ke Palembang’. Kami pun menginap di kantor Polisi”, kenang bapak yang bekerja mengulak sayur di Surabaya ini.

Keesokan hari, polisi tadi menempati janji. Menumpang truk, Sucipto dan istri dibawa ke Palembang dan diturunkan di Terminal Karya Jaya. “Dari sana saya mencari tumpangan ke Stasiun Kertapati, dan langsung menghadap Kepala Stasiun. Begitu saya selesai menyampaikan kisah yang menimpa saya, kepala stasiun meminta maaf tidak bisa membantu”, ujarnya.

Menurut kepala stasiun itu, memang sebelumnya ada program yang membantu pengguna kereta api yang kesulitan di jalan, namun tahun sekarang sudah tidak ada lagi. Walau begitu, Kepala Stasiun tadi membelikan kami nasi bungkus. “Saya pun istirahat dan shalat di mushala Stasiun Kereta Api. Rencananya sekalian mau menginap di sana. Namun oleh salah satu jamaah, saya disarankan menginap di masjid yang berada di luar lingkungan stasiun, karena di mushala tidak aman”, tukas Sucipto. Ia pun menurut.

Semalam di masjid, ia didekati oleh salah seorang ustadz dan menawarkan menginap di rumahnya, karena udara terlalu dingin untuk mereka berdua. “Nah ustadz inilah yang menyarankan saya untuk datang ke klinik LKC yang ada di samping Jembatan Ampera itu. Dia bilang, coba saja siapa tahu bisa membantu. Esok pagi, karena uang tidak ada, kami berjalan dari Stasiun Kertapati ke Klinik LKC. Hitung-hitung olahraga”, ujarnya tersenyum. Ia mengaku rela melakukan semuanya, kerana memang lagi butuh, dan mungkin inilah ujian untuk dirinya dan istri.

Di sana Sucipto dan istri, diterima oleh Andre salah seorang staf Klinik LKC. Dengan bekal sedikit uang saku dan peta jalan, akhirnya mereka pun tiba di kantor DD Sumsel yang terletak di Jl Angkatan 66 No 435C Palembang itu. Mereka diterima oleh Yuliani, staf bidang pendidikan yang juga mengurus musafir ini. Setelah melengkapi beberapa kelengkapan administrasi, akhirnya DD Sumsel membantu membelikan tiket untuk Sucipto dan istri. Mereka diberangkatkan keesokan Sabtu (6/7) pukul 07.00 wib.

Sucipto menjadi satu dari sekian cerita musafir yang mengalami kesulitan keuangan di jalan. Musafir merupakan salah satu asnaf yang berhak atas dana zakat. Membantu mereka merupakan kemuliaan, karena salah satu cara meringankan beban dan penderitaan saudara kita. Wallahualam bishawab. (KJ-04)     

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter