Seminar Character Building : Jangan Sampai Jadi Negara yang Gagal

Rumah Pasir. Begitu sebutan Eri Sudewo terhadap kondisi bangsa saat ini. Rumah yang dibangun hanya berdinding kompetensi, namun tak mempunyai karakter sebagai pondasinya. Rapuh dan tak mempunyai kekuatan berarti.

Sabtu (22/2), Eri Sudewo menjadi pembicara tunggal dalam seminar bertajuk Character Building yang berlangsung di Aula PT Telkom Sudirman Palembang.

Di hadapan lebih dari 200-an peserta, Eri membakar idealisme audiensi yang didominasi oleh para mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Palembang dan Inderalaya ini.

“Banyak hal yang tak patut dicontoh dari negeri ini. Jangan berpikir mau menjajah negara orang lain, jika untuk sekedar antri saja kita tidak mau”, ungkap Eri.

Menurutnya, ia merasa sangat miris saat membaca berita ada 115 mahasiswa UNSRI yang terancam Drop Out, hanya karena belum membayar SPP. “Bahkan, ada salah satu wali mahasiswa terancam DO tersebut yang kuliah di kedokteran mengeluhkan tentang biaya kuliah anaknya yang sampai Rp25 juta rupiah. Padahal sang ibu mengaku, bahwa ia seorang single parent. Cuma buruh cuci, dengan upah rata-rata Rp500 ribu per bulan”, cerita Eri.

“Sekarang bayangkan berapa keuntungan yang dikeruk Freeport dari bumi Cendrawasih. Tahun 2010 itu mencapai Rp8.000 triliun. Sedangkan APBN kita ‘cuma’ 2000 triliun. Bandingkan dengan biaya SPP mahasiswa yang terancam DO ini,” sergahnya.

Founder Dompet Dhuafa ini melanjutkan bahwa kita sebagai bangsa tidak anti asing. Tapi pembagiannya yang tidak adil. “Dari keseluruhan penerimaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah cuma kebagian 2,5%. Ada juga yang masuk ke dalam kantong penandatangan, oknum-oknum. Ditotal Freeport mengambil keuntungan hingga 91%. Salah siapa ini?” ujarnya beretorika.

Dengan kondisi ini, ia menyindir keras. “Di negara korup, jika satu mahasiswa lulus kuliah. Maka telah lahir satu calon koruptor. Jika satu mahasiswa lahir di negeri wacana, maka ia akan bingung untuk apa dan ilmunya ia akan gunakan.”

Bahkan, jika satu mahasiswa lulus di negeri yang dikuasai negara asing, maka lahir satu orang lagi yang siap menjual negara kepada pihak asing.

“Makanya adik-adik mahasiswa, jika ikut kepanitiaan. Kalau pegang uang, harus benar-benar amanah. Jujur dan amanah itu beda. Orang baik belum tentu jujur. Orang jujur belum tentu amanah”, ia menjelaskan.

Membangun Karakter
Saat seorang peserta mempertanyakan apa yang salah dengan bangsa ini. Sehingga seperti kehilangan harga diri sebagai bangsa. Eri menjawab, “Salahnya banyak. Salah satunya pada kurikulum. Mengapa harus berbasis kompetensi? Itu kekeliruan terbesar. Kalau saya pribadi mengusulkan, Kompetensi berbasis Karakter.”

Karena bangsa ini sudah kehilangan karakter. Dan dikhawatirkan tengah menuju kepada Failed Stated, Negara Gagal. Karakter itu harus dibangun sejak dini. “Ada tiga poin utama yang sebenarnya sederhana, (1) Jujur, (2) Jangan egois dan (3) Disiplin. Ketiganya bisa dilatih dengan berulang-ulang dan tidak mengenal kata akhir”, ujarnya.

“Jika Pohon adalah bangsa, maka akar adalah karakter. Dan batang adalah kompetensi. Jika Rumah adalah negara. Maka Dinding adalah kompetensi dan pondasi adalah karakter. Jika tak ada pondasi maka rumah itu hanyalah rumah pasir. Lemah dan mudah runtuh”, Eri beranalogi.

“Kompetensi ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas seseorang. Ia bisa datang dari profesi, keahlian. Sedangkan karakter adalah sejumlah sifat baik yang menjadi perilaku. Diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, maka ia hanyalah menjadi sebatas nilai saja”, urainya.

Tepat pukul 12.00, Eri menyudahi ceramahnya sekaligus hujan pertanyaan dari peserta. Kegiatan yang diselenggarakan Dompet Dhuafa Sumatera Selatan bekerja sama dengan beasiswa Bakti Nusa ini menghimpun reaksi positif dari para pesertanya. (KJ-04)DD Sumsel Character Building

 

 

 

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter