Sekitar delapan puluhan anak berseragam toga wisuda bercampur dengan anak-anak lain berbaju bebas berlarian kecil menuju masjid Miftahul Iman, Desa Purwodadi Kecamatan Muara Padang Jalur 20 Banyuasin. Di saat orangtua mereka tengah mengikuti penyuluhan dan pengobatan gratis dari Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa (DD) Sumatera Selatan, mereka diajak untuk bermain bersama kakak asuh Yatim Kreatif Indonesia (Yakin).
Dedi dengan kepiawaiannya berbicara, berhasil mengajak anak-anak bergembira dan larut dalam aneka permainan yang ia bawakan. Anak-anak tersebut walau sebagian masih memakai toga wisuda lengkap tak dapat menahan diri untuk bersorak, meloncat ataupun melakukan segala perintah yang diminta oleh kakak asuh.
Mereka adalah anak-anak cerdas yang bersekolah di TKIT Pondok Pesantren Miftahul Huda. Yang pada hari itu Selasa (25/6) diwisuda dan sekaligus juga mengadakan kegiatan lomba pidato agama Islam.
Dedi Mardiansyah dibantu M Ridwan dan Sri Rahmawati – ketiganya merupakan kakak asuh program Yakin DD Sumsel, red – memandu anak-anak untuk bermain game yang membutuhkan konsentrasi. Salah satunya game Buku-Pena. Di awal game Dedi menyampaikan untuk mengikuti apa yang diucapkannya. Saat disebutkan buku-pena-buku-pena, maka dengan koor panjang-pendek mereka juga menyebut ‘buku-pena-buku-pena’. Frasa buku-pena ini pun dibolak-balik dengan jumlah kata yang berbeda-beda.
Namun, saat Dedi mulai bertanya, “Ada berapa jumlah buku?”, mulai anak-anak dengan riuhnya berebut menjawab, ada yang bilang dua. Ada yang menjawab empat. Dedi pun mengulang menyebut frasa buku-pena berulang-ulang, dan diikuti pula oleh anak-anak. Sekali lagi Dedi bertanya, “Ada berapa jumlah buku?”, anak-anak coba mengingat ucapan sendiri dan menjawab seadanya. Dua, empat, enam dst.
Lantas dia mengingatkan bahwa, ‘Ikuti kata kakak ya..’. “Kalau kakak bilang ‘Ada berapa jumlah buku?’ maka kalian seharusnya mengikuti saja, dengan bilang ‘Ada berapa jumlah buku’ pula, nggak perlu menjawab..”, simpul Dedi penuh senyum kemenangan karena anak-anak kecele dengan perintah dalam gamenya. Tinggal anak-anak yang ber-ooo panjang lalu tertawa menderai.
Beruntung Dedi punya kemampuan berbahasa jawa sehingga suasana menjadi cair dan bertambah seru dengan selorohannya menggunakan logat jawa. Karena, hampir 100% penduduk Desa Purwodadi merupakan warga transmigran yang berasal dari Pulau Jawa. Sehingga mereka sebagai keturunan ketiga di desa tersebut menjadikan Bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian mereka.
Tak hanya anak-anak yang puas bergembira, para guru dan orangtua murid yang juga turut mengekor ke pelataran masjid, ikut larut dan tertawa riang melihat tingkah polah anak-anak mereka. Bahkan di akhir kegiatan, saat Zuhur sudah hampir masuk, seorang wali murid menyeletuk, ‘Mas, tinggal di sini saja, jadi guru TK ..’. Dedi cuma tersenyum simpul. (KJ-04)