Purwodadi, Menggeliat dalam Keterbatasan

Kondisi alam yang sangat keras, dengan bentang alam didominasi oleh tanah kuning dan tingkat keasaman tanah cukup tinggi. Menjadi keterbatasan yang bisa menjadi alasan untuk tetap dalam keterpurukan. Namun tidak bagi sebagian besar warga Desa Purwodadi Kecamatan Muara Padang Jalur 20 Banyuasin. Mereka berjuang keras untuk menaklukkan tantangan. Tiga puluh tahun berjuang dalam keterbatasan dan bahaya pendangkalan akidah, sedikit demi sedikit mereka mulai mampu memperbaiki taraf hidupnya. 

Posisi Desa Purwosari terletak sekitar 100 km arah Timur kota Palembang didominasi oleh wilayah perairan. Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk tiba di lokasi tersebut menggunakan speedboat bermotor 40pk atau sekitar dua jam perjalanan jika menggunakan sepeda motor melalui jalan tanah, yang jika hujan tiba, jangankan motor jalan kaki pun susah melewatinya. Terisolir mungkin bukan bahasa yang tepat, namun keadaan di sana menunjukkan gejala yang sedemikian. Atau terpencil tepatnya.

Bahan kebutuhan pokok, selain hasil pertanian, banyak disuplai dari kota Palembang yang diangkut melalui jalur air. Dengan kondisi jarak tempuh yang demikian, ditambah dengan mahalnya biaya transporatasi maka tak heran untuk harga air galon isi ulang saja harus ditebus seharga sepuluh ribu per galon atau harga bensin bisa tembus Rp9.000/liter (saat BBM jenis premium masih seharga Rp4.500/ liternya).

Belum lagi, kondisi air tanah dengan tingkat keasaman yang tinggi, menjadikan air yang ada di wilayah tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk air minum dan kegiatan memasak lainnya. Seorang warga bahkan berseloroh, “Mandi dengan air tersebut harus buru-buru, karena busa sabun cepat hilang”.

Arifin, Sekretaris Desa Purwodadi saat ditemui tim DD Sumsel mengungkapkan bahwa untuk kebutuhan air, sebagian besar masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap air hujan. “Mereka menampung dalam bak penampungan. Sedangkan, jika kemarau seperti ini mereka banyak yang membeli air galon dengan harga yang mahal tadi”, ujarnya. Walaupun mahal, apa boleh buat karena sudah menjadi kebutuhan.

Dari sekitar 750 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni Desa Purwodadi, 75% di antaranya berprofesi sebagai petani padi, sisanya menyadap karet dan mengolah sawit. “Sawah di sini bersifat sawah tadah hujan. Setahun cuma satu kali masa tanam. Jadi di sela masa tanam tersebut, masyarakat banyak yang mengolah tanaman lain, terutama palawija”, tutur pamong desa yang masuk ke wilayah transmigrasi tersebut di tahun 80-an saat masih berusia 7 tahun.

Bagaimana dengan harga jual beras? “Alhamdulilah, harga jual beras cukup tinggi dua tahun belakangan ini, sudah menyentuh Rp 6.000 untuk padi jenis Sanapi-42 dan Rp 5.000 untuk varian padi Serang”, ujarnya.

Kehadiran masyarakat di Desa Purwodadi tersebut tak lepas dari program transmigrasi pemerintah di tahun 80-an. Saat itu, masing-masing KK yang didatangkan dari Pulau Jawa mendapatkan jatah lahan seluas 2 ¼ hektar, di mana ¼ hektar digunakan untuk tempat tinggal dan dua hektar untuk bercocok tanam padi.

Di tempat inilah Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa (DD) Sumatera Selatan menggelar kegiatan pengobatan massal bekerja sama dengan Ukhuwah Center pada Selasa (25/6) yang lalu. (KJ-04)    

 

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter