Palembang, DD Sumsel — Kemiskinan adalah pekerjaan besar yang tidak akan ada habisnya. Tak hanya di negara berkembang, di negara maju sekalipun kemiskinan masih menjadi PR yang banyak mengurus sumber daya yang ada.
Kemiskinan di Sumatera Selatan tercatat mengalami penurunan. Data dari Dinas Sosial Provinsi Sumsel, pada Maret 2014, tercatat ada 1.100.829 jiwa (13,91%) turun dari 1.104.569 jiwa (14,06%) pada bulan September 2013.
Data ini terungkap dalam diskusi panel Poverty Outlook bertajuk “Membangun Sinergi Pemerintah dan Civil Society dalam pengentasan kemiskinan di Sumatera Selatan“, yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa (DD) Sumsel di Grand Atyasa Convention Center Palembang, Sabtu (31/1/2015).
Dalam diskusi tersebut dihadirkan empat orang narasumber dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada Belman Karmuda, MH, SSi dari Dinas Sosial Provinsi Sumsel, lalu kemudian ada Berdikarjaya, SE, MM dari Badan Pusat Statistik, Dr Alfitri, M.Si dosen FISIP UNSRI mewakili dari kalangan akademisi, serta Defri Hanas Pimpinan Cabang DD Sumsel.
Panelis pertama Belman Karmuda dari Dinsos Sumsel mengungkapkan tentang perjalanan panjang pemerintah dalam memberantas kemiskinan.
“Kita ini bukannya tidak berbuat. Tapi, jika semua menjadi tugas pemerintah sendirian, tentu saja berat”, ungkap Belman mengawali pembicaraan.
“Sebagai contoh, kemiskinan itu ada beberapa kategori. Sangat miskin, miskin dan rentan miskin. Pemerintah selain membantu kelompok miskin, juga fokus kepada kelompok yang rentan miskin”, ujarnya.
“Mengapa demikian?”, ujarnya. “Karena jika kelompok rentan miskin ini tidak kita bantu, maka mereka akan kolaps. Jatuh miskin dan menambah masalah sosial baru lagi”.
Ia mencontohkan tentang kelompok rentan miskin tadi. Ada keluarga yang terdiri dari ayah sebagai tulang punggung pencari nafkah dan istri serta beberapa orang anak. Tiba-tiba terjadi guncangan ekonomi, misal sang ayah jatuh sakit, dipecat dari pekerjaannya. Maka, dapat dipastikan, keluarga tersebut akan limbung.
“Untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dasar saja mereka bingung. Pilihan mereka jadi sempit, cuma ada dua. Kalau tidak berbuat kriminal atau bunuh diri. Itulah mengapa kelompok rentan miskin ini yang menjadi prioritas kita. Tapi, sebagian dari masyarakat sering salah paham. Dikira kita salah sasaran lah, nepostisme lah dan lain-lain”.
Sementara itu, panelis kedua, Berdikarjaya mewakili Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan memberikan definisi tentang kemiskinan.
“Miskin itu adalah suatu kondisi di mana seseorang/ sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermanfaat”, ujar Berdy, demikian pria kelahiran Medan tersebut biasa disapa.
Hak dasar itu meliputi, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidika, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Termasuk pula rasa aman dari perlakuan/ ancaman tindak kekerasan. Serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Selanjutnya, Defri Hanas mengungkapkan beberapa data tentang penyebaran kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan.
“Ada hal-hal terkait parameter kemiskinan yang mungkin agak berbeda yang digunakan oleh Dinsos maupun BPS. Dalam fikih Islam, miskin itu dikategorikan sebagai kondisi orang yang mampu bekerja, namun tetap tidak mampu memenuhi kebutuhannya”.
“Terus ada pula kelompok yang masuk dalam fakir miskin. Yang mereka benar-benar sudah tidak punya daya lagi untuk sekedar mencari nafkah demi menyambung hidup”, sambung Defri.
Ia juga menambahkan instrumen zakat dan infak dalam tools yang dimiliki Islam untuk menanggulangi kemiskinan. Termasuk besaran potesi zakat yang bisa dihimpun di Sumsel.
“Dari delapan juta jiwa penduduk Sumsel, ada tiga juta angkatan kerja. Kita ambil 20% saja dari angkatan kerja tadi dengan angka zakat minimal. Maka akan didapat angka untuk potensi zakat sebesar Rp1,031 trilliun.
Sedangkan DD Sumsel sendiri baru mampu menghimpun dana zakat, infak dan sedekah sepanjang tahun 2014, yakni Rp3,6 miliar”.
Sementara panelis ke-4, Alfitri menyoroti tentang strategi pengurangan angka kemiskinan di Sumsel. “Saya lihat, akar kemiskinan itu ada empat. Pertama, tidak punya akses ke sistem politik yang akomodatif. Kedua, tidak punya akses ke lingkungan pemukiman yang layak. Lalu Social Capital yang rendah dan yang terakhir tidak punya akses ke peluang dan sumber daya ekonomi”.
Sedangkan untuk mengurangi angka kemiskinan, ia sepakat dengan adanya sinergi. Utamanya antara pemerintah, masyarakat sipil, swasta dan dunia usaha.
Di akhir kegiatan, diberikan penghargaan berupa Inspiratif Award 2014 kepada individu dan instansi yang dinilai memberikan inspirasi dalam bidang kemanusiaan. Yakni keluarga inspiratif (Keluarga Yandes Efriadi, SH), Korporat Inspiratif (PT Telkomsel Regional Sumatera Selatan), Komunitas Kreatif (SMP LTI IGM Palembang), Instansi Pemerintah Inspiratif (Dinas Kesehatan Kota Palembang) serta Volunteer DD paling inspiratif (Marzuki).
Dan DD Sumsel pun mendapat kejutan dari Yandes, berupa penghargaan kepada DD Sumsel sebagai Fund Manager Zakat, Infak dan Sedekah dari keluarga besarnya. (KJ-04)