Tak pelak, isu kekerasan seksual menjadi isu krusial dan sudah semestinya ditanggapi sejak dini. Kekerasan seksual kini tak hanya menimpa para orang dewasa baik yang sudah menikah maupun belum. Sejak balita hingga remaja, kekerasan dalam wujud pelecehan seksual juga telah mengancam mereka.
Difokuskan kepada remaja usia sekolah, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa (DD) Sumsel sejal tahun 2015 telah memberikan perhatian khusus terhadap para remaja.
Isu yang diangkat adalah kesehatan reproduksi remaja yang dituangkan ke dalam Program Kesehatan Reproduksi Remaja. Banyak pihak dilibatkan dalam program terobosan tersebut di antaranya pihak sekolah, Disdikpora Kota Palembang hingga Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumsel.
Tulisan di bawah ini, disadur dari tulisa Dosen Pengajar Pengajar FISIP UI Diana Pakasi Gabriella Devi yang juga Peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Ia menuliskan tentang pentingnya pendidikan tentang kesehatan reproduksi remaja di sekolah.
Ia menyampaikan lima poin penting kajian ilmiah dari lembaganya itu. Berikut kelima poin tersebut :
Pertama, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI (2012) mengenai Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual di delapan kota (Jakarta, Bandung, Semarang, KulonProgo, Jombang, Banyuwangi, Pontianak, dan Bandar Lampung) yang melibatkan 918 responden siswa dan 128 responden guru dari 23 SLTA.
Hanya sebesar 33% siswa yang orang tuanya memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Lebih lanjut, ternyata sebanyak 57,7% siswa menyebutkan mereka pertama kali tahu informasi tentang kesehatan reproduksi dari sekolah.
Kedua, aspek kesehatan reproduksi dan seksualitas yang perlu diberikan pada remaja membutuhkan pengetahuan yang tidak semua orang tua memilikinya. Pada studi Pusat Kajian Gender dan Seksualitas tersebut juga ditemukan bahwa orang tua menganggap perlu memberikan pengetahuan pada anak, tetapi merasa dirinya tidak cukup pengetahuan tentang hal tersebut dan tidak mengetahui cara yang tepat untuk menyampaikannya.
Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang komprehensif tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi juga memberdayakan remaja untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi kesehatan reproduksi dan seksualnya, termasuk misalnya menghindari tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.
Ketiga, sekolah ternyata dapat menjadi media yang strategis untuk menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang bertanggungjawab.
Dalam survey Puska Gender dan Seksualitas tersebut bahwa sebanyak 97,9% siswa menyatakan materi kesehatan reproduksi dan seksual perlu diberikan di sekolah. Sebanyak 92,1% guru menyatakan materi tersebut perlu diberikan.
Diperlukan strategi pengintegrasian materi kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif dalam kurikulum mata pelajaran yang ada atau membuat mata pelajaran tersendiri untuk kesehatan reproduksi dan seksual. Sebanyak 62,7% guru dalam survey tersebut bahkan berpendapat kesehatan reproduksi perlu menjadi mata pelajaran tersendiri dengan alasan terutama untuk mencegah siswa berperilaku seks beresiko.
Namun, guru membutuhkan panduan kurikulum nasional untuk memberikan pelajaran tersebut yang dinyatakan oleh 76,4% guru dan juga membutuhkan paying kebijakan pemerintah yang disebutkan oleh 85% guru.
Keempat, pemberian materi kesehatan reproduksi dan seksual dalam kurikulum sekolah sudah sangat diperlukan bagi remaja. Sebanyak (36,3%) siswa yang tidak mengetahui bahwa hubungan seksual meskipun hanya satu kali pada masa subur dapat menyebabkan kehamilan.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 mengungkapkan bahwa remaja berusia kurang dari atau sama dengan 19 tahun yang belum menikah namun memiliki pengalaman seks sebesar 3,6% dan 1% mengalami kehamilan tidak diinginkan.
Kerentanan remaja juga terlihat dari kasus pelecehan seksual yang menimpa remaja, khususnya remaja perempuan, darisurvei Puska Gender dan Seksualitas tersebut juga ditemukan sebanyak 5,2% responden mengaku pernah dipaksa melakukan hubungan seks dan mereka yang mengalami hal tersebut, 61,4% mengaku dipaksa oleh pacar mereka.
Kelima, sudah menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual pada remaja. Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia telah menandatangani ICPD Programme of Action yang didalamnya terdapat mandate pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi termasuk menjangkau sekolah. (KJ-04/*)