M. Agus Wandi
(Direktur Program LAZ)
Menjadi salah satu kebutuhan mendasar masyarakat, pendidikan layaknya komoditas yang semestinya dapat diakses oleh siapa pun dan dalam posisi strata ekonomi mana pun, baik atas, menengah, bahkan bawah. Mementingkan pendidikan dalam masyarakat karena posisi strategisnya yang memastikan maju atau mundurnya peradaban dan kemanusiaan suatu bangsa.
Disamping itu, intervensi tercepat terhadap kemajuan berada pada wilayah pendidikan. Sedikit mengingatkan ketika tragedi pemboman Hiroshima dan Nagasaki, pertanyaan pertama pemimpin Jepang kala itu adalah, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Pertanyaan singkat tersebut secara lugas memberi arti bahwa modal pendidikan berposisi jauh di atas modal lainnya. Ajaran agama pun secara gamblang, tidak mengenal pria atau wanita diutamakan untuk mengenyam pendidikan, bahkan bila perlu sampai nan jauh ke Negeri China.
Mimpi indah akan akses pendidikan yang mudah, cepat dan tidak mengenal status ekonomi dari jenjang paling dasar hingga paling tinggi ternyata harus segera dibangunkan oleh sebuah kebijakan yang sama sekali tidak bijak, pendidikan diatur sebagai tanggung jawab pribadi dalam segi pembiayaan dan bukan lagi tanggung jawab sebuah institusi negara yang menaungi masyarakat di dalamnya. Padahal undang-undang secara jelas memberikan tanggung jawab tersebut kepada negara.
Pergeseran tanggung jawab ini pun secara brutal menggeser kebutuhan akan pendidikan dari kebutuhan publik yang dapat diakses secara bebas menjadi kebutuhan terbatas atau privat yang hanya dapat diakses oleh sebagian orang. Bagi sebagian lainnya hanya dapat menempatkan pendidikan sebagai sebuah impian yang entah kapan dapat terwujud.
Selain itu, kecenderungan kebijakan yang pro terhadap pasar bebas ini pun memaksa pergeseran nilai pendidikan dari ranah ranah sosial dan budaya ke ranah ekonomi yang menjadikan keuntungan sebagai panglima dan berada pada garda terdepan dalam setiap aktifitas pendidikan, maka satir, “Orang miskin dilarang sekolah,” sepertinya masih belum mengalami perubahan.
Sementara itu, situasi pendidikan yang sudah terinterupsi oleh semangat pasar bebas, globalisasi dan kapitalisasi setidaknya memberikan beberapa dampak negatif terhadap proses pendidikan itu sendiri.
Jadi jangan heran jika nanti didapati penyimpangan perilaku, karena rendahnya kualitas manusia terdidik di masa depan.
Dampak pertama adalah komersil, selama pendidikan dikelola atas dasar kapitalisasi dan tanggung jawabnya dibebankan kepada peserta didik maka selama itu pula pendidikan akan menjadi layaknya jasa yang dapat diperjualbelikan. Semakin tinggi kualitas jasanya akan berbanding lurus terhadap biaya yang dikeluarkan untuk mengaksesnya. Kenyataan ini mungkin tidak menjadi persoalan bagi sebagian kalangan yang mampu secara finansial, namun bagi sebagian yang lain hal ini menjadi penghambat dalam mengakses kebutuhan pendidikan tersebut.
Dampak selanjutnya adalah diskriminatif, dalam situasi biaya pendidikan yang selangit sudah dipastikan aksesnya pun akan tidak berlaku sama bagi seluruh masyarakat. Biaya pendidikan yang mahal secara tidak langsung membedakan perlakuan terhadap kalangan menengah ke bawah yang minim secara ekonomi, termasuk kalangan dhuafa. Bagi orang yang mampu dapat dengan leluasa memilih jasa pendidikan yang berkualitas dengan biaya tinggi, namun sebaliknya bagi yang belum mampu harus puas dengan model pendidikan ala kadar dengan biaya murah bahkan gratis.
Perbedaan perlakuan inilah yang seolah dalam masyarakat kita sudah menjadi pemakluman secara umum sehingga pendidikan tak ubahnya seperti barang dagangan yang berlaku hukum pasar di dalamnya.
—
Foto: .Net