Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM) mendapatkan kesempatan yang sangat berharga ketika mengikuti pelatihan Social Entrepreneurship Leader 2 yang diadakan Dompet Dhuafa Republika. Pelatihan yang diadakan di Jakarta pada tanggal 19 – 24 Mei 2009 ini langsung diikuti oleh Chairman DSIM, Adi Apriliansyah.
Salah satu pembicara yang hadir dalam kegiatan Social Entrepreneurship Leader (SEL) 2 adalah Bambang Mustari Sadino atau yang lebih dikenal sebagai Bob Sadino. Pengusaha yang sudah berlabel financial freedom ini, sudah hampir 40 tahun lamanya bergelut dalam berbagai bidang usaha. Dalam setiap acara yang diisinya, tak sungkan ia menyebut peserta dengan sebutan bodoh, goblok bahkan sampah. Tanpa kesiapan mental, bisa-bisa yang tersindir bisa-bisa merah kuping di’hardiknya’.
Pergelutannya dengan dunia usaha berawal dari kesulitan karena ayahnya meninggal saat Bob muda baru berusia 19 tahun. Om Bob, sapaan akrabnya, bercerita perjuangan yang paling besar tidaklah muluk, yakni mendapatkan makanan besok hari agar bisa hidup.
Pria yang tidak pernah kuliah itu bertutur entrepreneur adalah proses seumur hidup. Pendidikan dari sekolah hanya membuat orang mengetahui sesuatu. Padahal pembelajaran yang banyak terdapat pada masyarakat dan jalanan.
Pada saat sesi tanya jawab, beberapa utusan jejaring nasional bertanya, jiwa entrepreneur dimulai dari kapan? Perlu atau tidak disiplin ilmu kewirausahaan? Bagaimana peluangnya? Cara menjaga risiko dan sebagainya. Para penanya tersebut langsung disemprot oleh Om Bob, “Otak Anda itu penuh oleh sampah. Sampah yang Anda dapat ketika kuliah di universitas. Berupa teori dan segala macam informasi yang telah lalu. Ibarat makanan maka teori itu seperti makanan yang sudah basi.”
“Untung saja saya tidak terdidik secara akademik sehingga otak saya masih bersih…” katanya disambut gelak tawa para hadirin.
Setelah berkarir di perusahaan Djakarta Llyod selama belasan tahun di Eropa, ia lantas ingin pulang dan membangun usaha sendiri. Ia mengaku tidak mau bekerja di bawah perintah orang dan ingin bertanggung jawab pada diri sendiri. “Saya akhirnya ambil risiko, yang sarjana sekarang mungkin enggak kepikiran. Iya kan?” sindirnya. “Risiko itu duit, kalo risiko diperkecil berarti duit yang didapat juga kecil, ini bodoh…” lanjutnya.
Sejak kembali ke Indonesia sekitar pertengahan 1960-an, menurut Om Bob, situasi negara ini masih berdarah-darah. Ia pernah berprofesi sebagai sopir dan bekerja sebagai kuli dengan upah Rp 100 per hari. Setelah taksi sedan yang ia bawa dari Eropa hilang akibat kecelakaan.
Kali ini, ia coba beternak ayam ras dari bantuan seorang rekannya di Belanda. Usaha peternakannya melesat. Pada 1967, ayah dua anak inilah yang pertama memperkenalkan penjualan daging dan telur ayam di pertokoan. Untuk mendukung usahanya, ia membuka pertokoan Kem Chicks pada 1969.
Tak sampai di situ, dari racikan bisnisnya, ia kenalkan juga pertanian hidroponik. Produksi Kem Farm bervariasi seperti sayuran yang biasa dipakai di restoran, jagung dan kacang tanah hibrida, melon serta kebutuhan sehari-hari.
Industri dalam pengertian Om Bob tak perlu canggih-canggih amat. Jika hasil budidaya tak sepenuhnya terserap pasar, harus ada pengolahan, pengemasan dan perlakuan terhadap hasil budidaya. Kalau tiga siklus ini tercapai, sifat wirausaha petani dapat lebih baik.
“Peternak kita saja belum makan daging, kebutuhan daging Indonesia masih sangat besar,” ujarnya. Bob telah meluncurkan buku berjudul Bob Sadino: “Mereka Bilang Saya Gila” berfilosofi dari seribu pertanyaan ia hanya bisa menjawab 999 pertanyaan sedangkan satu pertanyaan adalah insting yang menuntun kemana rencana selanjutnya.
Di usianya yang 75 tahun, Haji yang menyukai musik klasik dan jazz ini mengakui, saat-saat yang paling indah baginya adalah ketika shalat berjamaah dengan kedua anaknya. (vivanews.com)