Optimalisasi Zakat Produktif

Tidak bisa dipungkiri lagi jika saat ini sudah terlalu banyak jumlah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Inilah faktor penyebab anak jalanan mengabaikan pendidikan mereka untuk ikut mencari uang demi menopang kebutuhan keluarga. Islam dengan sangat jelas dan tegas mengatur mengenai pemerataan kesejahteraan umat melalui zakat. Padahal muslim Indonesia adalah yang terbesar, ironis memang.

 

Oleh : DESSI ARISANTI

Zakat secara bahasa, artinya tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS.[9] : 10) sedangkan menurut terminologi syari’ah, berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk/milik orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana.” (QS. At Taubah [9] : 60).

 

Zakat produktif

Pada praktiknya distribusi zakat dapat bersifat konsumtif dan produktif. Zakat konsumtif dapat berupa bahan makanan pokok, sandang, dan lain-lain, sedangkan zakat produktif dapat berupa modal usaha. Zakat produktif inilah yang diharapkan mendorong keluarga miskin untuk berusaha mandiri.
Zakat secara produktif ini bukan tanpa dasar, ini pernah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.

Ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, Fiqh Zakat. Bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa.
Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Menurut KH Didin Hafidhuddin BAZ ataupun LAZ, jika memberikan zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di samping itu juga harus membina ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamannya.

 

 

Penyaluran

 

Selain sebagai modal usaha, penyaluran zakat produktif juga dapat berupa penyediaan sarana gratis untuk bidang kesehatan dan pendidikan. Tetapi sekali lagi, pendataan keluarga miskin ini harus dilakukan dengan ketat agar zakat tidak terdistribusi kepada golongan yang tidak berhak.

 

Kendala utama yang dihadapi adalah tidak diwajibkannya masyarakat menyalurkan zakat melalui LAZ melainkan memberi zakat sendiri-sendiri.

 

Hal ini dikhawatirkan membuat kesadaran masyarakat untuk memberikan zakat secara produktif tidak timbul. Kebanyakan masyarakat memberikan zakat mereka dalam bentuk barang konsumsi, yang memang diperbolehkan dalam Islam, tetapi kurang efektif karena manfaatnya hanya dirasakan sementara waktu.

 

Kerjasama semua pihak, baik para muzakki, LAZ dan mustahik sangat diperlukan untuk optimalisasi penyaluran zakat produktif . Sehingga diharapkan dapat mengurangi jumlah keluarga miskin di Indonesia, mengurangi ketergantungan, dan secara tidak langsung mengurangi jumlah anak jalanan.

Wallahua’lam bishwab.

 

DESSI ARISANTI, Manajer Layanan Masyarakat & Pengembangan Insani

 

 

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter