.
Senin (28/10), kabut yang menyelimuti permukaan sungai belum sepenuhnya hilang. Pukul 6.30 Nurhayati sudah duduk menanti perahu penyebrangan di dermaga kecil ujung Desa Gandus, Palembang.
Perahu kecil yang hanya bisa bermuatan tidak lebih dari 15 orang setiap harinya mengantar jemput Nurhayati, berserta guru dan murid-murid lainnya ke sekolah. Sekolah mereka, SDN 154 Kelurahan Pulokerto Kecamatan Gandus adalah SD terujung wilayah Kecamatan Gandus, SD ini terletak diperbatasan antara Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim. Guru dan anak-anak setiap harinya harus menempuh jalur perairan agar bisa sampai ke SD ini.
.
Perahu atau ketek menurut bahasa daerah setempat menjadi sarana transportasi utama setiap harinya bagi guru dan siswa jika ingin ke SDN 154, Perahu mengantar sekitar pukul 6.45 pagi, dan menjemput kembali pukul 11.00 siang.
.
Begitupun dengan Nurhayati, sudah menjadi guru di SDN 154 sejak 3 November 2004, baginya sungai punya banyak cerita bersama dirinya, dan pejuang pendidikan lainnya.
.
“Saya Senin sampai Sabtu selama 13 tahun terakhir selalu seperti ini. Dari rumah jam 06.15 di antar bapak (Suami) barulah sekitar 20 menit kemudian sampai di dermaga, nanti ada perahu yang sudah menunggu dan siap mengatar kami, kurang lebih 45 menit kemudian barulah perahu menepi tanda kami sudah sampai. Sudah banyak cerita kami, guru dan murid SD 154 bersama sungai ini,” Jelas Wanita kelahiran Palembang, 7 Desember 1969 ini.
.
Bukan sekali dua baju seragam kuning kaki ataupun PGRI kebanggaannya basah terkena cipratan atau terkena genangan air sungai yang masuk ke perahu. Dan entah sudah berapa kali ia harus kemudian membersihkan kakinya yang kotor lantaran terjeblos lumpur sisa air sungai yang pasang. Namun baginya, semua itu adalah bagian dari perjuangan, yang harus terus diperjuangkan, demi pedidikan yang lebih baik.
.
“Baju basah, kaki kena lumpur, bahkan perahu kami hampir karam pun sudah pernah. Tahun 2005 perahu kami hampir karam, itu air sedang pasang, arusnya kencang, air sudah banyak yang masuk ke perahu. Itu saya dan anak-anak sudah pasrah dan berdoa saja, kalau-kalau kemungkinan terburuk terjadi. Alhamdulillahnya kami selamat sampai tepian, walau pakaian sudah basah semua,” Jelas wanita 49 tahun ini.
.
Sudah mengajar sejak lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1989, dan juga mengabdikan diri sebagai guru di berbagai sekolah seperti SDN 52 Kertapati, SD 85 Palembang, dan SD muhammadiyah 15 hingga akhirnya pada tahun 2004 hingga kini memilih untuk mengajar di SDN 154 Palembang, Nurhayati belum juga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. hingga kini ia masih menyandang status guru honorer, yang digaji tidak lebih dari Rp 250.000/bulan.
.
“Saya sudah pengajar puluhan tahun dan sampai saat ini belum juga diangkat sebagai pegawai negeri. Gaji saya 250 ribu perbulan, itu pun dikeluarkan pertiga bulan sekali,” ujar Ibu empat anak ini.
Gajinya yang hanya 250 ribu/bulan itu pun tidak lantas langsung bisa diterima bersih oleh Nurhayati, sebagian harus langsung dipotong untuk membayar jasa perahu penyebrangan yang setiap hari mengantar jemputya.
.
“Dari 250 ribu itu, 120 ribu setiap bulannya saya harus sisihkan untuk membayar jasa perahu antar. Sebenarnya kami ada uang transportasi, 1,5 juta/semesternya. Tapi uang ini sering telat keluarnya, kadang setahun baru keluar. Tapi Alhamdulillahnya sudah setahun terakhir kami guru-guru honorer yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun mendapatkan insentif sebesar 500 ribu/bulan” Jelasnya.
Diusianya yang sudah tidak muda lagi, ketika penyakit sudah mulai sering datang, sempat terbesit dalam pikir Nurhayati untuk menyerah, berhenti untuk mengajar di sekolah lalu kemudian mencari pekerjaan lain yang lebih baik secara financial. Namun tiap kali pikiran itu muncul, hati Nurhayati selalu menolak. Bagi nur, mengajar adalah panggilan jiwa.
.
“Di SD 154 itu saya sudah mengajar kurang lebih 13 tahun, walau gaji saya kecil rasanya saya tidak tega untuk meninggalkan sekolah itu. Saya sudah ikhlas walau mungkin kelak sampai pensiun saya tidak juga diangkat pegawai negeri, yang jelas saya ingin anak-anak di daerah ini bisa mendapatkan pendidikan yang baik, jadi anak yang pintar-pintar, itu sudah menjadi kebanggaan dan kebahagian tersendiri buat saya,” Jelas Ibu Nur, sapaan akrabnya di sekolah.
.
Baginya pendidikan sangatlah penting, bukan hanya pada anak muridnya hal itu ia tekankan, melaikan juga pada anak-anaknya, penerusnya, harapannya, yang kelak melanjutkan perjuangannya.
.
“Anak pertama dan kedua sudah menikah, anak nomor 3 dan si bungsu masih sekolah. Yang ke-3 sekarang semester 5 di Widya Darma, jurusan D3 Rekam Medis. Kalau si bungsu baru beranjak kelas 5 SD, ikut saya di SDN 154. Walau gaji saya kecil, walau suami saya hanya berkerja sebagai buruh bangunan, tapi saya ingin anak-anak saya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya,” jelasnya.
.
Sudah hampir satu dekade terakhir, SDN 154 Palembang tidak pernah ditinjau oleh pemerintah. Satu sekolah di ujung kota, di ujung perbatasan yang sangat menanti perhatian dan bantuan untuk terus bertahan serta berjuang di dunia pendidikan.
.
“Pak Harno, tolong lihat dulu kondisi kami di perbatasan ini Pak. Sekolah kami reot, gaji kami sangat kecil padahal kami sudah mengabdikan diri puluhan tahun untuk mencerdasakan anak bangsa. Tolong lihat kami disini pak,” tutup Nurhayati.
.
Kondisi seperti inilah yang dialami setiap harinya oleh Nurhayati dan guru-guru yang lainnya di SDN 154 Palembang, Dengan total siswa ajar yang tidak lebih dari 115 anak, mungkin dianggap sedikit bagi satu sekolah. Namun, mereka adalah bagian dari jutaan anak yang perlu diperjuangkan pendidikannya. Kedatangan guru menandai hari bagi mereka mendapat ilmu. Selamat Hari Guru, Negeriku.
