Jaminan akan kesehatan terhadap perempuan sebenarnya telah tercakup dalam konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), di 1979. Konferensi tersebut menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan.
Jaminan akan kesehatan tersebut juga tercantum dalam penyempurnaan MDGs, Sustainable Development Goals (SDGs) yang akan berakhir di 2030. Visi dan komitmen bangsa-bangsa untuk menyelesaikan masalah global terkait kesehatan perempuan tersebut meliputi poin 3, Good Health and Wellbeing, dan poin 5, Gender Equality.
Perjalanan dari SDGs membutuhkan pelajaran dari kegagalan MDGs, yang notabene bersifat sentralistis ke pemerintah dan tidak melibatkan seluruh sektor masyarakat sipil. Langkah pemerintah dengan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) -berupa pemberian asupan nutrisi untuk bayi dan ibu hamil- membutuhkan solusi-solusi yang bersifat jangka panjang. Semisal bagaimana edukasi kepada calon ibu atau perempuan.
Penemuan saya di beberapa daerah-daerah terpencil, pelosok, dan utamanya masyarakat adat, memperlihatkan bahwa pemberian nutrisi dalam bentuk makanan pendamping (MP) ASI terhalang oleh kesadaran kesehatan sang ibu sendiri. Di beberapa daerah, bahkan untuk memanggil ibu-ibu dan anak-anak untuk ikut hadir di program 1.000 HPK cukup sulit. Lagi-lagi soal edukasi yang tidak sampai, terkait pentingnya MP ASI tersebut.
Belum lagi persepsi para ibu yang menganggap susu formula dapat mengganti ASI, kesadaran untuk hadir di posyandu rutin dan imunisasi, juga pola asuh yang masih menekankan pada ibu. Sedangkan bapak ataupun lelaki belum terbiasa dengan tugas mengurusi anak, dan terkesan ego dengan perannya sebagai ‘pencari nafkah’. Padahal kalau mau ideal, peran ibu sebenarnya sudah cukup menumpuk dan melelahkan, membutuhkan sosok yang membantu perannya di sisi lain.
Pemerintah dalam hal tersebut perlu belajar bahwa solusi pemberdayaan bukan hanya selesai pada pemberian makan, MP ASI, atau mungkin penyuluhan sehari-dua hari. Kerja berkelanjutan adalah kerja jangka panjang, melelahkan dan membutuhkan banyak eksplorasi. Utamanya kerjasama dengan stakeholder terkait.
Kasus badai gizi buruk Asmat adalah cerminan bagaimana subsidi dan pemberian dalam bentuk materi yang melimpah (dalam bentuk dana Otsus dengan jumlah milyaran hingga triliunan rupiah) bukanlah solusi. Malahan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak.
Permasalahan kesehatan perempuan harus diakui lebih dari 1.000 Hari Pertama Kelahiran. Permasalahan tersebut mulai sejak sang perempuan beranjak dewasa, atau mungkin saat menstruasi pertama. Karena saat tersebut para perempuan sudah harus sadar akan hak dan pentingnya kesehatan reproduksi, perhatian akan kesehatan perempuan tentu harus diajarkan sejak dini.
Harus diakui pula negara membutuhkan bantuan lembaga-lembaga yang dapat membantu pencapaian SDGs. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut perlu dukungan penuh oleh pemerintah.
Sudah bukan waktunya lagi menganggap NGO ataupun LSM sebagai orang-orang yang mencari kesalahan pemerintah, lebih tepatnya mereka adalah mitra pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut dapat membantu pemerintah di bagian fasilitator ataupun pengawasan di level desa ataupun kecamatan.
Kartini membawa kita akan sebuah terang lewat kematiannya, bahwa emansipasi haruslah dipertahankan dari mulai tubuh perempuan itu sendiri. Tubuh yang mendapat pelayanan kesehatan layak dan tubuh yang sadar akan haknya.
Kalau dari kesehatan saja kita tidak emansipasi, jangan pernah berpikir untuk emansipasi di hal-hal lainnya. Bisa jadi bangsa kita masih miskin dan tidak berdaya.