Membujuk Akbar Kembali Sekolah

Metha Ariesta tengah mengajar di kelasnya di SDN 149 Palembang

Metha Ariesta tengah mengajar di kelasnya di SDN 149 Palembang

Oleh: Metha Ariesta, S.Pd

Peserta Program School of Master Teacher, Guru SDN 140 Palembang

Mengajar dan mendidik siswa merupakan tugas seorang guru. Sebagai guru yang baru empat tahun bergabung di SDN 140 Palembang. Saya mencoba menjadi guru yang baik dan disiplin saat mengajar. Tahun kedua setelah saya bergabung di sekolah ini saya mendapat kepercayaan untuk menjadi wali kelas 3 B serta guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk kelas 1 sampai kelas 3.

Saya menyadari bahwa mengajar di kelas 3 bukan merupakan tugas yang mudah. Kelas 3 bisa dikatakan sebagai kelas peralihan.Tingkatan di mana siswa ditanamkan kedisiplinan serta kemandirian.

Selain itu materi yang kian meluas, membuat peserta didik banyak mengalami kesulitan. Dari sisi psikologi juga, siswa kelas 3 merupakan tingkatan dimana mereka sedang sangat ingin bermain, tidak suka hanya duduk diam saja serta timbul rasa memberontak dalam dirinya.

Namun, di sanalah tingkat tantangan yang sesungguhnya, sebagai guru mata pelajaran Bahasa Inggris agar materi yang saya ajarkan dapat mudah untuk diingat.

Saya berharap anak dapat lebih mudah memahami materi Bahasa Inggris karena memang penambahan vocabulary (kosa kata) masih sangat dianjurkan di kelas 3.

Suatu hari di bulan Oktober, saya melihat ada orang tua seorang siswakelas 3C yang saya ketahui bernama Akbar sedangmengantarkan anaknya untuk masuk ke kelasnya. Hanya saja Akbar menolak untuk masuk ke dalam kelas.

Karena rasa penasaran yang tinggi saya mencoba bertanya pada guru-guru yang sedang duduk di koperasi sekolah saya.

“Ada apa Mbak, ramai-ramai di situ?” Tanya saya.

Salah seorang guru pun menjawab, “Itu si Akbar katanya sudah hampir satu minggu tidak mau masuk kelas. Kata orang tuanya sih takut pelajaranmu dan Pak Bimo (Bahasa Inggris dan Pendidikan Agama Islam).”

Saya terkejut mendengar jawaban dari guru tadi. Saya memang menyadari Akbar sudah 2 kali pertemuan Bahasa Inggris tidak hadir. Akhirnya Akbar kami biarkan pulang, karena semakin kami paksa Akbar semakin menolak untuk masuk ke kelas sehingga wali kelasnya berinisiatif untuk membiarkan Akbar beristirahat dulu di rumah.

Setelah Akbar dan orang tuanya pulang, saya pun menemui walikelas 3C, karena dari informasi yang saya dapat Akbar takut belajar karena saya. Ibu Hosnani selaku wali kelas 3C pun menjelaskan bahwa Akbar takut masuk sekolah karena saya memberikan hapalan Bahasa Inggris.

Dia takut saya marah dan menghukumnya karena saya terkenal disiplin dalam menghukum anak yang terlambat buat tugas ataupun hapalan.

Jujur saat itu saya benar-benar menyesali tindakan saya yang terlalu mendisiplinkan anak-anak dalam menilai tugas dan hapalan.

Keesokan harinya, Ayah Akbar mengantarkan Akbar kembali ke sekolah agar Akbar mau sekolah. Melihat hal ini saya pun mendekat, mengingat salah satu alasan dia tidak mau masuk sekolah karenasaya. Saya merasa bertanggungjawab untuk mengembalikan minat belajar Akbar kembali.

Saya mendekati Akbar dan duduk di samping Akbar sambil bertanya, “Akbar kenapa di sini? Kok tidak masuk? Kan teman-temannya sudah masuk semua.”

Namun Akbar tidak mau menjawab sambil terus mengajak Ayahnya pulang. Beberapa guru pun mulai membantu membujuk Akbar. Saya pun mendekati Akbar agar Akbar tidak takut lagi dengan saya dan berjanji jika Akbar belum hapal pelajaran Bahasa Inggris Akbar tidak perlu takut dihukum.

Namun bujukan kami tidak dapat meluluhkan hati Akbar. Sehingga kejadian itu terus berulang. Bahkan saya pernah melihat Akbar di pukul Ayahnya di sekolah karena dia tidak mau masuk ke kelas. Bukan itu saja sang Ayah pun menitikkan air matanya karena sedih mengingat usaha yang telah ia dan para guru berikan agar Akbar mau masuk kelas tidak membuahkan hasil.

Seminggu setelah kejadian tersebut seorang guru bernama Saparudin (lebih dikenal dengan Sir Sapar) berinisiatif untuk membujuknya dengan datang ke rumah.Tidak sekali dua kali beliau datang ke rumah Akbar namun sampai sekarang Akbar belum juga mau datang ke sekolah.

Saya juga pernah datang ke rumahnya namun saya belum beruntung untuk bertemu dan membujuknya. Setelah berkali-kali dibujuk akhirnya Akbar mau datang ke sekolah tapi dengan syarat tidak mau hadir di hari Rabu karena hari Rabu ada pelajaran Agama yang ditakutinya.

Kami semuamengucap syukur, akhrinya Akbar mau kembali ke sekolah walau tidak datang setiap hari. Namun hal ini hanya bertahan sebentar. Tidak sampai 1 bulan kejadian ini terulang lagi. Akbar kembali tidak mau masuk dan hanya masuk 5-10 hari dalam sebulan dan hanya datang saat ulangan berlangsung. Dengan sangat terpaksa akhrinya Akbar tinggal kelas.

Namun ada hal yang mengejutkan saat tahun Ajaran Baru dimulai, Akbar meminta saya sebagai wali kelasnya tahun ini. Dia berjanji pada saya untuk belajar yang rajin dan tidak pernah bolos.

Awalnya memang sulit karena Akbar masih sering tidak mau masuk kelas dengan berbagai alasan bahkan dia sempat mengaku bahwa kelas kami berhantu dan banyak lagi alasan yang ia ungkapkan. Hal ini tidak lantas membuat saya putus asa. Saya mulai berdiskusi dengan beberapa guru senior agar dapat membuat Akbar sekolah dengan teratur.

Setelah berdiskusi cukup banyak dengan guru-guru senior saya memutuskan untuk melakukan pendekatan kekeluargaan dengan datang ke rumahnya. Setelah itu setiap pagi saya harus berjalan kaki ke rumah bibinya untuk menjemput Akbar agar mau ke sekolah. Sayajuga meminta bantuan teman-teman sekelas Akbar agar mau menjemput dan membujuk Akbar agar mau masuk ke sekolah.

Setelah melakukan pendekatan ini selama beberapa bulan akhirnya Akbar mau masuk sekolah teratur walaupun dia masih sering tidak hadir jika pelajaran Agama Islam sedang berlangsung.

Namun hal ini sudah menjadi sebuah kemajuan yang sangat saya syukuri karena berkat banyak usaha dan doa dari guru-guru, orang tua dan teman-teman Akbar, akhrinya Akbar mau melanjutkan belajarnya.

Hingga suatu siang di pertengahan bulan November, Akbar datang menemui saya pada saat jam istirahat sedang berlangsung. Pagi itu saya memang mengumumkan tentang Ujian semester yang akan berlangsung tidak kurang dari 3 minggu ke depan.

Saat itu saya mengatakan bahwa kehadiran serta nilai sehari-hari mempengaruhi nilai akhir rapot. Akbar yang melihat saya sedang menilai tugas siswa di kelas pun mendekat.

“Miss” kata Akbar. Saya menghentikan sejenak perhatian saya ke buku anak yang sedang saya periksa.

“Ada apa Akbar?” tanyasaya. Dia pun melanjutkan bertanya sambil menundukkan kepala, “Miss, kira-kira Akbar naik gak Miss?”.

“Menurut Akbar naik apa enggak?”, saya balik bertanya kepada Akbar.

Dengan ragu dia bilang, “Aku takut gak naik Miss. Aku gak mau masuk pesantren. Aku masih mau sekolah di sini.”

Saya memang mengetahui bahwa keluarganya mengancam akan memindahkan Akbar ke pesantren jika dia tidak naik kelas.

Dengan lembut saya berkata, “Masih ada waktu untuk belajar, kalau Akbar masuk terus, gak jahil sama temen-temen Akbar, buat tugas dan PR, Miss janji Akbar naik kelas.”

Akbar pun tersenyum.

“Tapi janji dulu sama Miss, harus mau belajar dan masuk kelasterus, janji?”

Akbar pun menjawab, “Janji, Miss.”

“Janji apa?” saya ingin meminta penegasan janji Akbar.

“Janji masuk terus dan rajin belajar” jawab Akbar mantap.

Setelah janji itu Akbar jadi rajin belajar, selalu mengerjakan tugas, dan mau belajar hingga akhirnya dia mampu sedikit demi sedikit mengerjar ketertinggalannya. Sekarang Akbar sudah naik kelas. Namun hal yang masih membuat senyum saya mengembang adalah setiap kali bertemu dengannya adalah dia masih selalu menyalami tangan saya. Dia tampak lebih ceria sekarang.

Semoga kisah ini dapat menginspirasi banyak guru-guru lain agar tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan anak didiknya. (Wan/KJ-04/*)

 

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter