Sebuah surat terdiri dari 67 kata, yang dikirim seratus tahun yang lalu oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour, kepada seorang anggota Yahudi di British House of Lords, yang dari baris-baris kalimatnya akhirnya melahirkan sebuah monster bernama “Israel”. Sejak itu rakyat Palestina terus menderita, mengalami pengusiran demi pengusiran selama sepuluh dekade.
Baik pemerintah maupun rakyat Palestina, dalam peringatan 100 tahun Deklarasi Balfour ini, yang bertepatan pada hari Kamis (2/11/2017), mendesak Inggris untuk meminta maaf atas deklarasi ini.
Sebuah janji yang melapangkan jalan bagi pendirian “Israel” di atas tanah Palestina bersejarah.
Palestina juga meminta Inggris menghentikan dukungannya kepada penjajah Zionis “Israel”. Agar memihak kepada hak Palestina, supaya selaras dengan apa nilai dan prinsip-prinsip yang diklaimnya.
Seratus tahun yang lalu, 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Jamer Balfour, menyiapkan pendirian sebuah tanah air nasional untuk orang-orang Yahudi di Palestina.
Hal itu tertuang dalam sebuah surat yang ditujukan kepada pemimpin Zionis yang menjadi anggota di British House of Lords, Lord Lionel Rothschild.
“Sesungguhnya pemerintah yang memiliki keagungan melihat dengan mata sempati kepada pendirian tempat tinggal nasional di Palestina untuk bangsa Yahudi. (Pemerintah) akan mengerahkan upaya maksimalnya untuk memudahkan terwujudkan tujuan ini,” begitu kira-kira bunyi janji Balfour tersebut.
Maka janji itu benar-benar terjadi. Janji dari orang yang tidak memiliki kepada orang yang tidak berhak. Maka dimulailah ganasnya prahara bagi rakyat Palestina yang sampai saat ini masih mengalami penderitaan.
Amerika, Italia dan Prancis segera memberikan dukungan terhadap janji yang menyengsarakan rakyat Palestina ini. Eropa ingin menyudahi masalahnya dengan orang-orang Yahudi dengan mengorbankan bangsa Palestina.