Menurut perhitungan matematika manusia, orang yang punya uang Rp 10 juta kemudian diambil Rp 5 juta untuk membantu biaya sekolah anak-anak yatim maka uang yang tersisa hanya tinggal separuh.
Jika orang itu kemudian mempunyai pola perilaku tetap, yaitu selalu memberikan separuh hasil usahanya untuk membantu orang lain yang kesulitan, maka menurut hitungan matematis ia pasti lambat kayanya dibanding jika ia tidak suka memberi. Jika ia menjadi kaya 10 tahun kemudian, maka logikanya jika tidak suka memberi, ia sudah bisa menjadi orang kaya lima tahun lebih cepat.
Namun realitas kehidupan sering berbicara lain. Orang yang suka memberi justru lebih cepat kaya, sementara orang yang kikir, usahanya sering tersendat-sendat.
Sama halnya pedagang yang selalu mengambil keuntungan dengan margin tertinggi justru kalah bersaing dengan pedagang yang mengambil keuntungan dengan margin rendah. Mengapa demikian? Karena hidup itu tidak sama dengan hitung-hitungan matematika manusia, ada matematika langit, ada matematika Allah yang jauh lebih dahsyat.
Orang yang bertahan dengan hitung-hitungan akalnya dalam interaksi sosial tanpa disadari justru akan kehilangan peluang non teknis yang nilainya tak terukur secara matematis, yaitu berkah.
Berkah adalah terdayagunanya nikmat secara optimal. Dari uang Rp 5 juta misalnya, semua terinvestasi untuk kebaikan tanpa ada sedikitpun kebocoran untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Sedangkan penghasilan yang tidak berkah dapatnya sepertinya banyak, tetapi yang terdayaguna hanya sedikit karena sebagian besar justru bocor ke wilayah-wilayah yang tidak diperlukan.
Matematika langit mengajarkan kepada kita bahwa harta itu anugerah Allah. Allah menyuruh manusia untuk bekerja keras dan Allah akan memberi menurut kehendak-Nya sesuai dengan rumus-rumus matematika langit.
Zakat harta
Dalam Islam, zakat adalah batas pemisah apakah seseorang disebut bakhil dan zalim atau bukan. Ketika seseorang tidak membayar zakat, maka ia sesungguhnya termasuk ke dalam kelompok orang yang bakhil dan zalim.
Dengan menunaikan ibadah zakat, maka status kebakhilan dan kezaliman orang tersebut akan tercabut. Namun, orang tersebut belum disebut sebagai dermawan.
Pertanyaannya, mengapa ia belum disebut dermawan? Alasannya sederhana, sebab zakat yang ia bayarkan sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik pihak lain, yaitu para mustahik. Kedermawanan yang sesungguhnya justru terlihat ketika ia menunaikan infak, sedekah dan wakaf. Karena itu, jika ingin melihat kedermawanan seseorang, maka lihatlah dari ibadah sunnah yang ia lakukan, yaitu infak, sedekah dan wakaf.
Analoginya, ibarat seorang mahasiswa yang mengikuti sebuah mata kuliah. Zakat yang ia tunaikan baru mengantarkannya mendapat nilai C. Jika ingin mendapat nilai A, maka ia harus meningkatkan kualitas dirinya, dengan membayar infak, sedekah dan wakaf.
Zakat arti bahasanya adalah suci dan tumbuh, artinya orang yang disiplin membayar zakat hartanya menjadi suci dari hak orang miskin dan hatinya pun menjadi suci dari keserakahan.
Filosofi zakat ialah bahwa di dalam harta si kaya ada hak orang lain (miskin), yang meminta atau yang malu meminta. Jika zakat tak dibayarkan, maka maknanya si kaya memakan hak orang miskin.
Zakat diartikan tumbuh artinya harta yang dizakati akan tumbuh dan berkembang volumenya secara sehat.
Melalui pohon bonsai kita bisa banyak belajar tentang filosofi zakat. Pohon bonsai yang secara regular digunting ranting dan daunnya ia akan tumbuh berkembang secara indah dan berpola, karena dari ranting yang digunting akan tumbuh daun baru yang segar. Jika pohon itu tak pernah dipotong maka pohon itu terus berkembang tetapi tidak indah, tidak berpola dan bahkan bisa menjadi pohon besar yang angker.