M Thoriq Halim (39), Direktur Program Dompet Dhuafa Foundation
Sudah 12 tahun saya menjadi bagian fundraiser (penghimpun dana, red) di Dompet Dhuafa (DD) Foundation. Dan menjadi seorang fundraiser di lembaga nirlaba seperti DD ini tentu punya romantika sendiri. Bisa dibilang tugas seorang fundraiser itu sama saja dengan organisasi lain yang profit-oriented. Bedanya kalo mereka menghimpun dana dari masyarakat melalui penjualan produk yang ujungnya adalah agar dapat bertahan dengan menjual produk. Maka Kita menjual program pemberdayaan. Yakni program yang kreatif, inspiratif yang dapat mengangkat harkat martabat kaum dhuafa. Yang insya Allah bermanfaat dan mudah-mudahan mampu memperbaiki tingkat kehidupan mereka.
Luar biasa sekali rasanya, jika ada orang yang dahulu kita bantu dengan menggunakan dana zakat. Lalu, kita berikan pembinaan dan pendampin gan. Lalu beberapa tahun kemudian, ia datang lagi kepada kita, sembari membawa berita bahwa ia sekarang sudah berhasil.
Ini nyata. Dahulu ada seorang tukang bakso yang berjualan dengan mendorong gerobak. Terus kita bantu modal dan pendampingan. Alhamdulillah sekarang sudah punya empat kios bakso. Dulu ia mustahik sekarang malah naik menjadi muzakki yang taat membayar zakat.
Saya dulu pernah , saat di suatu acara ditanya kritis oleh peserta yang hadir. ‘Berarti Anda menjual kemiskinan dong Pak?’ Saya kaget juga ada yang bertanya seperti itu. Tapi saya jawab, kita tidak menjual kemiskinan. Kita menjual program yang dapat meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa yang tersebut di dalam asnaf penerima zakat. Bukan seperti persepsi kebanyakan orang. Menjual anak yang kepalanya membesar, pasien yang ususnya terburai. Bukan seperti itu.
Di pengalaman yang lain, saya pernah berhubungan dengan seorang teman yang bekerja sebagai humas di suatu perusahaan. Setelah urusan selesai ia nanya, ‘Selain di DD, Bapak kerja di mana?’. Saya tersenyum kecut. Seolah-olah kalo kerja di lembaga nirlaba itu sampingan, tidak fokus. Inilah persepsi yang salah.
Sebagai fundraiser saya juga pernah diundang untuk memberikan materi di beberapa Negara. Kita bangga, karena Indonesia menjadi laboratarium (case study) fundraising bagi Negara berkembang. Bahkan ada dua program DD yang menurut mereka bagus untuk dijadikan sebagai case study. Yakni donasi melalui kasir dan donasi via SMS. Mereka bilang ini luar biasa. Hanya dengan berdonasi melalui kasir di beberapa jaringan supermarket yang hanya berupa uang kembalian belanjaan, Rp100 – Rp200 perak saja, dalam satu bulan saja bisa terkumpul Rp 2 miliar rupiah.
Atau yang berdonasi via SMS. Karena, seperti di Jepang, pemerintah mereka telah melarang bisnis via pulsa telpon selular. Sedangkan kita di sini potensi dan hasilnya sungguh luar biasa. Mereka terkagum-kagum, kok bisa begitu. Seolah-seolah kita ini gaptek (gagap teknologi, red).
Dan Alhamdulillah pula, saat ini kita menggandeng teman-teman di Negara ASEAN untuk membentuk SEAHUM (South East Asia Humanitarian, red). Semacam wadah bersama bagi NGO (LSM, red) yang bergerak di bidang kemanusiaan di wilayah ASEAN. Ada duapuluh member dari seluruh Negara ASEAN, kecuali tiga yang belum bergabung. Yakni Singapura, Brunei Darussalam dan Kamboja.
Singapura sebagai welfare state (Negara yang sudah makmur), tidak ada NGO yang berkembang di dalamnya. Karena, salah satu ciri negara bermasalah adalah banyak NGO di dalamnya. Begitu juga dengan Brunei Darussalam, semua urusan sosial langsung diurusi oleh Pangeran. Sehingga tidak ada NGO di sana, terutama yang mengurusi masalah zakat ini. (KJ-04)