Oleh: Taufik Hidayat, ST (Direktur DSIM)
Sebuah pesawat jet terhempas keras di pegunungan berhutan lebat di Alaska. Sang pilot tak bisa mengendalikan pesawat pribadi ini setelah terperangkap di udara yang penuh rombongan burung yang sedang bermigrasi. Beruntung, seluruh awak selamat. Tiga orang berasal dari rombongan orang kaya di Amerika Serikat akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit. Mereka harus bertahan hidup di belantara yang dingin dan ganas.
Seorang miliarder bernama Charles, bersama fotografer ternama, Robert, serta Stephen, seorang kru pemotretan merangkap pilot akhirnya harus bersitegang satu sama lain. Mereka panik menghadapi situasi tak terduga ini.
”Aku pasti akan mendapat bantuan dengan mendaki ke puncak gunung itu. Pasti ada menara komunikasi dan posko bantuan disana. Helikopter akan melintas disana suatu saat. Kalau kalian mau ikut, berjalanlah dibelakangku. Kalau tidak, kalian akan jadi umpan beruang Alaska yang ganas disini,” solusi Robert dengan egois.
Stephen sebaliknya, dia tak mampu berpikir jernih dan terkulai lemas. Dia berpikir, sebentar lagi hidupnya akan berakhir karena tak ada lagi yang mampu melawan keganasan alam liar tanpa bekal. Dia terkena depresi berat.
Lain halnya dengan Charles, sebagai pria terkaya di AS, ia banyak mengalami kondisi sulit dalam perjalanan suksesnya. Dia juga seorang kutu buku yang sering melahap buku-buku petualangan alam liar. Ia memilih berpikir dulu sambil merancang strategi perjalanan.
Lalu dengan tenang ia berkata, ”Di kota, kita adalah pria sukses dengan banyak pengagum. Seluruh orang melayani kita. Kita juga saling bersaing bahkan terkadang dengan cara yang tidak terhormat. Kini kita berada di alam liar dimana hanya Tuhan yang menggenggam nasib kita. Selebihnya adalah bagaimana kita bisa menyingkirkan ego dan bersama-sama mencari jalan keluar. Kita sama sekali tak tahu harus menuju kemana. Tapi kita akan pecahkan masalah ini bersama. Dengan bersama kita akan lebih kuat dan saling membantu.”
”Kalian tahu, mengapa orang yang tersesat di hutan mati?!” tanya Charles dengan keras.
”Karena mereka berputus-asa.”
Namun dalam perjalanan survival mereka, Robert ternyata juga mencari kesempatan dalam kesempitan, ia sering melakukan tipuan untuk membunuh Charles. Begitu pun pada Stephen, si kulit hitam yang menurutnya sebagai sampah tak berguna dengan keluhannya yang memuakkan.
Justru yang terjadi sebaliknya, Robert akhirnya mati terperosok ke dalam jebakan yang dibuatnya sendiri. Adapun Stephen, lukanya yang parah dan kondisi psikisnya yang lemah akhirnya tak dapat ditolong. Dia dikubur di tengah hutan.
Akhirnya Charles bertemu dengan seorang pemburu dari Suku Indian Alaska yang tengah memburu jejak beruang. Melalui pertarungan sengit, akhirnya beruang ganas itu berhasil dibunuh. Dengan bekal daging yang lezat dan kulit beruang yang hangat, Charles bersama Si Pemburu akhirnya menemukan bala bantuan dan selamat serta bertemu keluarganya.
***
Kawan – kawan amil zakat rahimakumullah, sesungguhnya kita telah memahami bahwa semangat yang terus menyala adalah bahan bakar agar tetap survive dalam mengelola lembaga zakat. Sebuah semangat yang kita gantungkan dengan niat ikhlas, lillahita’ala.
Hal ini tentu tidak diragukan lagi bagi para pekerja sosial. Tetapi di samping sebuah semangat, untuk tetap survive tentu diperlukan sebuah keinginan untuk selalu beprestasi.
Kondisi zaman yang terus berubah dan banyak terjadi kejutan-kejutan, hanya orang yang siap dan memiliki kemampuan inovasi, yang insyaallah akan eksis. Oleh sebab itu, mari kita selalu bertanya pada diri kita sendiri, “Apa yang bisa menjadi prestasi hari ini?”
Semoga kita akan selalu melahirkan karya-karya terbaik tanpa mengenal lelah dan jauh dari putus asa. Wallahu a’lam bishawab.
Diadaptasi dari film The Edge yang dibintangi aktor kawakan Anthony Hopkins (Charles) dan Alec Baldwin (Robert) tayang di Indonesia tahun 1997.