Keterbukaan

Oleh : MIRA P AWWABIN

Suatu sore, saya dan suami akan menjemput anak-anak di sekolah. Saat itu, yang ikut kami adalah anak tertua yang usianya lima tahun dan duduk di kelas I, Sekolah Dasar Islam Terpadu. Sebelum menjemput adik-adiknya, saya mengajak suami untuk makan sore terlebih dahulu. Singgahlah kami di salah satu warteg yang ada di pinggir jalan.

Saat makan, saya mengutarakan keinginan untuk memperoleh izin dari suami untuk ikut pelatihan pendidikan anak usia dini di Yogyakarta selama satu minggu di bulan Febuari nanti.

Suami balik bertanya, “Anak-anak nanti dengan siapa?” Saya jawab, “Yang terkecil boleh ikut karena masih ASI sedangkan kakaknya ditinggal”. Mendengar ucapan saya, suami hanya diam sambil menyantap makanan.

Saya menunggu jawabannya. Tak diduga, anak saya ikut memberikan tanggapan perihal keberangkatan saya tadi. Dia bilang “Ummi satu minggu itu lama. Kalau Ummi berangkat kami ditinggal dengan siapa? Tugas Ummi itu seharusnya di rumah saja. Kalau Abi boleh berangkat, karena Abi tugasnya mencari uang.”

Kaget, saya dan suami berpandangan. Saya tersenyum dan ada haru di dada, mendengar colotehan putri kami ini. Tanpa menunggu jawaban suami tentang permintaan saya tadi, apa yang disampaikan anak saya sudah cukup mewakili pendapat suami atas izin saya.

Saya kagum campur heran, bahkan sampai sekarang. Tak disangka, anak yang baru berusia lima tahun sudah mampu menyusun kalimat untuk memberikan pendapatnya dengan kami selaku orangtua.

Saya mengenang masa kecil dulu. Jangankan untuk mengangkat kepala, melirik pun tak berani bila kedua orangtua sudah berdiskusi.

Biasanya orangtua langsung memberi cap anak yang tidak sopan bila ikut-ikutan urusan orangtua dan serentetan alasan penolakan lainnya, bla, bla, bla…

Bila diteliti secara psikologi sikap orangtua yang terlalu arogan, kaku, dan menganggap anak adalah anak, bukan sebagai anak yang mempunyai hak-haknya maka akan berimbas pada pola tingkah laku di masa 25 tahun ke depan. Di mana sikap dan pendidikan yang diberikan di dalam rumah tangga akan kelihatan hasilnya di rentang waktu tersebut.

Dengan belajar dari pengalaman tersebut, selaku orangtua sebaiknya kita mampu menempatkan posisi anak sesuai dengan fase-fase perkembangannya sehingga harapan untuk membentuk, mendidik, dan mengasuh anak menjadi “militan” akan terkabulkan. (*)

* MIRA P AWWABIN, Manajer Baitul Maal wat Tamwil

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter