Lelaki paruh baya itu tertegun. Sekonyong-konyong, dari atas sepeda motor, seorang ibu yang ditemani anak kecil, menghentikannya tiba-tiba seraya memberikan bingkisan makanan. Entah siapa ibu itu. Entah siapa pula pria itu. Tidak ada kenal – mengenal sebelumnya. Mungkin tampilan fisik pria itu yang nampak lusuh & kepayahan. Mungkin pula memang dasar rezeki pria tersebut. Tapi yang jelas, baik si pria dan ibu tersebut terlihat sama bahagianya. Yang satu terlihat bahagia karena mendapat rezeki nomplok. Yang satunya lagi bahagia, karena bisa berbagi dengan memberi. Kebahagian tersebut mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata atau dengan tulisan, tapi dia menyelusup kedalam lubuk hati, terlukiskan dengan senyuman, terlisankan dengan keharuan dan terpatri dalam memori. Dan insyaAllah dengan keikhlasan, malaikat pun tersenyum sembari mencatatnya sebagai amal kebaikan. Itulah kebahagiaan memberi.
Salah satu pilar identitas yang menunjukkan apakah seorang muslim, benar atau tidaknya keimanan mereka adalah dengan menunaikan zakat, apabila telah memenuhi syaratnya. Tidak cukup dengan lisan bersyahadat, badan bergerak menjalankan shalat, atau lapar dahaga menjalankan puasa. Pembuktian keislaman juga harus dipenuhi dengan ikhlas berbagi dengan membayar zakat. Kemudian disempurnakan dengan totalitas penghambaan dalam berhaji, setelah tercukupi kemampuan untuk itu. Namun perlu diingat, ber-Zakat adalah kadar minimal seorang muslim dalam berbagi. Atau kalau menurut istilah salah seorang ustadz, ber-Zakat adalah batas pelit/kikir seorang muslim. Kalau seorang muslim tidak pernah bersedekah/berinfaq, namun tetap menunaikan kewajiban zakatnya, maka orang tersebut masih bisa dikategorikan sebagai bukan orang kikir. Tapi kalau malah sebaliknya, boro-boro mau bersedekah, untuk menunaikan zakat saja sulitnya bukan main, maka itulah Qarun-Qarun zaman modern. Kehinaan akan menemani kematiannya kelak, tenggelam bersama keberlimpahan harta-hartanya.
Selain berzakat, Islam juga sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa gemar bersedekah/berinfaq. Kalau zakat terikat dengan beberapa rukun dan waktunya, maka bersedekah bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Salah satu penyakit mental manusia yang akan membinasakan mereka adalah kikir yang diperturutkan. Secara fitrah, sifat kikir bersemayam pada setiap mahluk bernama manusia. Hanya saja perbedaanya adalah, ada yang takluk dan memperturutkan sifat kikir tersebut, sedangkan yang lain berseteru dan mencoba melawan sifat kikir yang ada pada dirinya.
Bukankah musuh yang paling besar itu adalah ada pada diri kita sendiri…?!? Mental kikir tidak dapat dihilangkan dengan memperbanyak ibadah shalat nawafil/sunnah, atau dengan rajinnya tilawah Al Qur’an, atau dengan rutinnya berpuasa senin-kamis, apalagi dengan seringnya bolak-balik berhaji atau berumroh. Kewajiban akan hak harta yang ada pada kita, tidak akan dianggap impas atau selesai dengan ibadah-ibadah tersebut kecuali dengan ber-Zakat dan memperbanyak berinfaq. Sehingga jangan heran, kadangkala kita menjumpai orang yang begitu taat dan salehnya dengan ibadah tersebut diatas, namun disisi lain dia terkenal dengan sifat kikirnya. Itulah kepribadian yang terpecah. Dan Allah SWT pun tak segan untuk memanggil orang-orang serupa itu sebagai pendusta.
Apalah artinya 2, 5 % dari kewajiban minimal kita bersedekah, dibandingkan 87,5 % dari tersisa yang masih bisa kita gunakan. Bill Gates malah bersedekah (dengan versi pemahamannya..!?! ) sebanyak 55 % dari total kekayaannya. Toh, kekayaannya tidak berkurang, dan tetap menjadi orang paling kaya di jagad bumi ini. Bahkan George Soros ( yang dituduh sebagai biang krisis ekonomi di Asia Tenggara ) malah merelakan 75 % kekayaannya untuk sesuatu jauh lebih besar ketimbang kepentingan pribadi & keluarganya. Soros adalah satu dari sedikit miliarder kelas dunia yang tak memiliki pesawat pribadi dan pulau, perahu pesiar atau koleksi lukisan yang tak ketulungan harganya. Seandainya saja mereka adalah muslim…
Sejarah mencatat, tidak ada manusia atau bangsa yang menjadi miskin karena memberi. Justru sebaliknya, dengan memberi, manusia menjadi lebih kaya. Kesediaan untuk berbagi adalah salah satu bukti keimanan kita. Kekayaan sebesar apapun tak akan pernah bisa memuaskan nafsu manusia yang kelewat menggelembung.
Berbagi juga tidak mesti menunggu kaya. Jangan pernah kita menyepelekan sedekah, sekecil apapun. Kita tidak pernah tahu, pemberian yang mungkin tidak terlalu berarti bagi kita, ternyata menjadi obat penolong bagi orang lain. Ditengah terpuruknya negeri kita dengan pelbagai persoalan, setidaknya kita tidak menjadi orang yang menambah ruwet persoalan tersebut. Yakinlah, kita menerima sebanyak apa yang telah kita beri.