Ramadhan 1434H yang telah terjalani selama sepekan ini, semoga menjadi waktu yang tepat bagi umat Muslim untuk memperbaiki diri. Waktu yang ideal untuk memperbaiki kualitas diri dan membakar dosa. Sehingga selama sebelas bulan kemudian, hasil dari penempaan diri selama bulan Ramadhan akan tampak dan berbekas. Semoga kita tidak terjebak dengan kekhawatiran sekaligus kenyataan gelap yang mengikut keberadaan Ramadhan ini sebagai bulan penuh berkah. Yakni, di mana Ramadhan hanya dianggap sebagian Muslim sebagai sebuah musim yang datang satu tahun sekali. Yang hanya menghasilkan pola tren shaleh sesaat, ‘Muslim Musiman’.
Sangat mudah dijumpai di saat-saat sekarang ini, sosok-sosok yang di luar Ramadhan jauh dari Islam, bisa mulai dari selebritas hingga pejabat, mendadak menjadi kalem dan alim ketika memasuki Ramadhan. Selebritas yang sehari-hari tak malu membuka aurat, berlomba-lomba menutup rapat-ketat – bahkan lebih rapat dari para muslimah yang cenderung melonggarkan gamisnya, hingga melihatnya saja rasanya sesak.
Sementara para pejabat memanfaatkan Ramadhan sebagai momentum memupuk kepercayaan masyarakat, atau bahasa kerennya pencitraan. Apalagi Ramadhan tahun ini yang bertepatan dengan ‘tahun politik’ dinilai sebagai waktu yang tepat mereguk dukungan masyarakat bagi para politikus, sebelum bertarung pada Pemilu 2014 mendatang.
Sekali lagi semoga kita tidak tergolong muslim musiman yang tahunya merayakan dibanding mengamalkan atau malah bijak memaknai. Selebritis-politikus bukanlah panutan, walaupun mereka senantiasa tampil di televisi. Namun keberadaan mereka masuk ke dalam ruang keluarga melalui kotak yang bernama televisi, menjadi penyebab tersendiri terhadap pola peniruan terhadap anggota keluarga. Berkaca pada Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, tak jarang selebritas yang berhijab selama Ramadhan dengan entengnya menanggalkan jilbabnya dan kembali mengenakan pakaian ‘belum jadi’ selepas Lebaran. Seolah, ibadah selama Ramadhan tak berdampak membentuk kepribadian sebagai seorang Muslim.
Pun dengan para pejabat atau politikus yang mendadak alim selama Ramadhan. Usai Ramadhan, tak jarang sejumlah politikus diberitakan tertangkap tangan melakukan korupsi atau tindakan asusila lainnya. Kamuflase yang dilakukan para pesohor itu jelas membingungkan masyarakat.
Dalam satu tausyiahnya, almarhum KH Zainudin MZ pernah bertanya kepada jamaahnya. Pilih mana, minyak onta cap babi atau minyak babi cap onta? Minyak onta cap babi masih boleh, tapi minyak babi cap onta, itu menipu, kata Kiai Sejuta Umat itu.
Bukannya keberadaan ‘Muslim Musiman’ tidak baik. Tapi, masyarakat diingatkan tidak tertipu pencitraan yang dilakukan seseorang atau kelompok-kelompok tertentu, yang memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan mereka. Seperti kata pepatah, emas pasti kuning, tapi tidak semua yang kuning pasti emas.
Fenomena ‘Muslim Musiman’ di kalangan selebritas dan politik juga berdampak kepada masyarakat. Tak jarang selama Ramadhan banyak orang yang genit agar terlihat tak tampak ketinggalan musim. Salah satu caranya selalu mengenakan pakaian takwa. Sayangnya, lagi-lagi, ketika Ramadhan berakhir, berakhir pula ketakwaan yang sudah dipupuk selama bulan suci.
Jangan heran jika ada orang shalat rajin, maksiat tekun. Sedekah mau, nyolongnya lebih gede, seloroh Kiai Zainuddin.
Fenomena itu menggambarkan jika Islam tidak menjadi rule of thinking. Ramadhan seperti musim yang temporer. Ketika ‘Musim Ramadhan’ habis, habis pula ketakwaan selama satu bulan. Ramadhan tidak dijadikan pintu gerbang untuk menjadi Muslim yang paripurna, yang secara kaffah menjalankan ajaran Nabi Muhammad Saw.
Mari saling mengingatkan diri, agar tidak terjebak dalam pola euforia Ramadhan yang hanya menghasilkan tren Saleh Sesaat atau Muslim Musiman, yang bertumpuk-berkelindan dengan naiknya tingkat konsumerisme di tengah masyarakat yang menahan lapar dan haus saat siang, namun sedemikian buas dan rakusnya saat memaksa diri menghabiskan semua hidangan berbuka pada malam hari. Wallahualam.