Ditulis Oleh : M. Tias
UPZ Mega Syariah Pasar Lemabang
Sejak dipindahkan dari divisi fundraising ke divisi Layanan Kesehatan Cuma-Cuma banyak realita keseharian yang sangat menyentuh dan membuat saya sering terharu dan merasa tak berguna. Betapa tidak, kita sehari-harinya selalu tercukupi kebutuhan. Namun ketika menyambangi member LKC yang ada di wilayah 24 ilir betapa banyak saudara kita yang susah makan maupun untuk sekadar berobat ke Puskesmas dan dengan rumah yang sekadar berdiri tentunya dengan pemandangan daerah yang kumuh dan jauh dari standar kesehatan dan sanitasi.
Begitulah sekilas gambaran kehidupan mustahik. Mustahik itulah sebutan bagi mereka yang menerima zakat yang para pembaca dan donatur sekalian berikan mereka hidup dan bertahan dari zakat dan donasi yang kami salurkan, akan berdosa sekali bila kita yang mampu tapi tak pernah yakin dan mau untuk memberikan zakat, kalau pun ditagih atau diajak berzakat tentunya jawabannya adalah…
“Maaf Pak, saya sudah salurkan ke panti asuhan langsung atau ke masyarakat miskin sekitar rumah saya.”
Tak ada yang salah dengan hal tersebut, namun pemberian bantuan yang konsumtif kurang keberlanjutannya. Namun bila disalurkan zakat, infaq, shadaqah dan wakaf (ziswaf) kepada sebuah lembaga yang transparan, amanah dan profesional dapat memberikan pemberdayaan secara terus-menerus dan berdaya guna efektif.
Mengapa kita tak mau memberikan perhatian atau meluangkan waktu berkonsultasi dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ada untuk sekedar bertanya atau tahu kegiatan mereka. Tentunya semua itu tak akan sulit dilakukan bila kita memang peduli dengan sekitar kita yang terhimpit kemiskinan dan terkungkung kebodohan.
Dalam surat At Taubah ayat 60 dengan jelas disebutkan golongan-golongan yang wajib menerima zakat dan amilin (orang yang bertugas mengelola zakat) termasuk di dalam 8 golongan tersebut lalu mengapa kita masih ragu untuk mempercayakan dana ziswaf kepada LAZ selaku amilin yang profesional. Membayar ziswaf melalui LAZ membuat kaum dhuafa lebih terlindung harga dirinya dari merasa rendah diri dari Muzaki dan memberi tanpa diketahui orang lain tentunya lebih utama, lebih terdayaguna, terarah dan komprehensif.
Bersama LAZ kita bisa memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kemusyrikan yang tumbuh subur di negara ini. Maraknya kejahatan, bencana dan kekacauan yang melanda tak lepas dari belum ditunaikannya syariat islam yang sempurna di Indonesia. Banyak orang yang tahu shalat dan karena itu pula banyak mesjid yang berdiri, banyak orang tahu tentang haji karena itu pula banyak orang yang berhaji dan Indonesia tercatat sebagai negara yang selalu menambah quota jemaah hajinya untuk berangkat ke Mekah setiap tahunnya. Tapi berapa banyak dari 200.000 orang jemaah haji itu yang berzakat atau tahu tentang zakat? Zakat menjadi tak populer karena harus disalurkan ke Lembaga Amil Zakat (LAZ) menjadi tak dibiasakan karena menyerahkan sebagian harta untuk dizakati, semua yang dilakukan hanya untuk populer atau sekadar mengangkat prestise seseorang yang menyerahkan bantuan langsung ke mustahik atau ke panti asuhan.
Ingkar Muzakki itulah sebutan bagi orang yang mampu membayar zakat tapi tak mau membayar zakat. Perlu kita ingat bahwa membayar zakat melalui LAZ banyak hal yang dapat kita raih seperti muamalah dengan amilin, informasi secara bertahap tentang keberadaan para mustahik yang telah terbantu dan jumlah bantuan kita yang telah tersalurkan pada LAZ tersebut hingga kita bisa tahu berapa yang sudah kita berikan untuk kejayaan Islam dan berapa amal yang telah kita buat untuk persiapan kita di alam kubur yang begitu sempit, gelap, berisi binatang berbisa dan ulat-ulat yang menjijikkan dan Yaumul Akhir yang kedatangannya pasti. Tak maukah kita berbangga dengan amalan yang banyak dan selalu mengalir seiring waktu saat kita di alam barzah karena amal yang kita buat melalui ziswaf yang kita berikan tadi terus ada karena telah dijadikan sarana-sarana yang berguna bagi mustahik dan terus diperbaharui tanpa merubah bentuk isi yang ada. (*)