Ditulis Oleh : Dessi Arisanti
Manager Divisi Layanan Masyarakat dan Pengembangan Insani (LMPi)
Abu Bakar ra, khalifah umat Islam pertama setelah wafatnya Rasulullah saw, telah membuat keputusan yang sangat bersejarah, ketika sepeninggalan Rasulullah saw umat Islam mulai malas menunaikan kewajiban berzakat. Dengan lantang Beliau mendeklarasikan perang pada kaum yang menolak membayar zakat. Ketika Umar bin Khattab yang biasanya garang berkata dengan lembut, “Wahai khalifah, mereka tetaplah bagian dari kaum muslim…” Abu Bakar yang biasanya penuh dengan kelembutan justru terlihat begitu tegas “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat! Aku akan memerangi mereka, jika mereka menolak menyerahkan padaku kekang unta yang biasa mereka berikan pada Rasulullah!”. Ini adalah sepenggal kisah mengenai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam dengan konsisten, karena membayar zakat termasuk rukun Islam yang merupakan tiang agama, di mana kelima rukunnya harus kita tegakkan agar menjadi muslim yang kaffah.
Dalam QS. At Taubah : 103, Allah SWT berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.
Aspek pertama dari ayat ini adalah perintah kepada ulil amri dengan kata “Khudz…Ambil!” dalam bahasa arab kata akhadza bahkan mencerminkan paksaan. Kata dalam Al-Quran menggunakan kata ini untuk menggambarkan “azab atau siksa”. Tetapi betapa berimbangnya, di mana kata selanjutnya adalah ulil amri harus mendoakan para muzaki. Hal inilah yang senantiasa coba amil DSIM terapkan, di mana shadaqqallaah, doa itu benar-benar menjadi penentram jiwa muzaki. Bagaimanapun melepas harta yang rasanya telah mereka miliki, akan sedikit menimbulkan guncangan pada jiwa, maka doalah penentramnya.
Ada banyak kenyataan yang kami temui di lapangan, salah satunya kisah berikut, di mana ada seorang muzaki DSIM yang hatinya sedang gelisah, karena ada suatu masalah yang dihadapinya. Lalu ia mengeluarkan infaknya, sambil bercanda ia berkata “Tolong doakan saya, semoga rezeki saya bertambah 10 kali lipat.” Dua minggu kemudian ia mendapat kabar bahwa ia akan menerima kenaikan gaji, di mana jumlahnya 20 kali lipat dari uang yang telah ia infakkan. Subhanallah…
————————————————————————————————————–
“Laki-laki dan perempuan yang bershadaqah dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al Hadid : 18).
—————————————————————————————————————
Mengapa harus zakat? Coba hitung mana yang lebih banyak: Belanjanya orang miskin kepada orang kaya, atau belanjanya orang kaya pada orang miskin. Tetangga kita yang mungkin hanya berprofesi sebagai tukang ojek atau pedagang yang berjualan di kaki lima, mereka mungkin sering pergi ke mal yang megah. Tetapi mungkin belum pernah kita melihat pemilik mal tersebut naik ojek atau belanja pada pedagang kaki lima. Belajar dari kenyataan ini, kalau Allah saja memberi kita rezeki dari orang miskin, mengapa kita mengingkari bahwa mereka adalah bagian dari harta yang kita miliki.
Jika harta zakat tak disisihkan, maka ia akan merusak “sesamanya”, karena zakat adalah kesucian, sedangkan shadaqah adalah rumus dari kekayaan. Harta yang dikeluarkan sebagai zakat statusnya sebagai pembersih atas harta dirinya. Sebagai pembersih, maka harta itu harus dibuang, karena kalau tidak, maka akan menjadi racun atau kotoran. Maka ‘buang’-lah harta itu dengan jalan berderma. Setiap anda memperoleh rezeki, keluarkanlah 2,5% untuk zakat sebagai pembersih harta kita. “Perumpamaan orang-orang menafkahkan hartanya dijalan Allah itu seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatkandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah maha mengetahui” (Al Baqarah : 261).
Bila kita tidak menjalankan kewajiban dengan benar, maka Allahlah yang akan menagih dan mengambil harta anda dengan caranya. Adapun cara Allah mengambil harta kita dengan amat mudah, bahkan terkadang caranya amat pedih. Seperti kebakaran, kebangkrutan, kehilangan, sakit yang tak tersembuhkan, dan sebagainya. “Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (Al Lail : 8-9). Adakah cara yang seperti ini yang kita kehendaki? Karena itu, “Belanjakanlah hartamu di jalan Allah dan janganlah menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan” (Al-Baqarah : 195), Na’uzubillah…
Sebelum Allah mengambil dengan caranya, alangkah baiknya manakala kesadaran untuk menafkahkan sebagian rezeki yang kita peroleh itu dilakukan dengan kesadaran kita sendiri secara penuh dengan kelapangan hati. Karena amal seseorang datang tidak hanya dari harta yang berlebihan, tetapi dari apa yang telah Allah sediakan untuknya. ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) merupakan cara Islam untuk mencapai tujuan menyejahterakan umatnya. Dengan ZIS, Islam menerapkan teori untuk mencapai tujuan pemerataan kekayaan nasional. Wallahualam bish shawab. (*)