Tak banyak orang yang tertarik dan bersedia untuk terlibat dalam melayani dan beraktifitas sehari-hari di rumah singgah bagi pasien kanker anak. Selain ruang dinamika yang terbatas hanya di satu tempat, aktifitas program yang dihadirkan untuk memberikan layanan bagi pasien kanker anak ini juga sekilas terlihat monoton.
Namun hal tersebut dirasakan berbeda oleh M Herizal Yoesri, yang kesehariannya memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan Rumah Sehat Pelita Hati (RSPH). Yakni, hunian sementara bagi pasien kanker anak selama menunggu jadwal pengobatan di rumah sakit.
Di antara penghuni RSPH ini ada yang berasal dari kabupaten/kota se-Sumatera Selatan dan beberapa provinsi lain seperti dari Bengkulu, Jambi, Lampung dan Bangka Belitung. Dengan latar belakang daerah yang berbeda-beda, tentunya mereka membawa kebiasaan dan budaya yang berbeda pula.
Keragaman sifat inilah yang menepis kejenuhan seorang Herizal dalam kesehariannya dalam mengurus RSPH.
“Setiap hari kita bersosialisasi dengan orang yang berbeda daerah dengan bermacam wataknya. Sehingga kemampuan untuk saling mengerti antara kita dan penghuni sebagai penerima manfaat harus terus diupayakan,” katanya.
Terhitung sudah dua tahun, Herizal diberi amanah untuk mengurus RSPH sejak dimulainya program pada 2014 lalu. Dalam keseharian, mungkin saja ditemukan ketidakcocokan antar penghuni rumah karena perbedaan latar belakang. Namun karena mereka pada posisi yang sama untuk mengobati buah hati yang terkena kanker, sehingga kondisi pun relatif terkendali.
“Mungkin karena mereka merasa senasib dengan cobaan penyakit yang menimpa anaknya, alhamdulillah sejauh ini kondisi di RSPH aman. Bahkan di antara orang tua yang mendampingi anaknya ada juga yang suka membantu perbaikan ringan jika ada kerusakan di rumah ini. Seperti waktu itu ada bapak dari Belitang, OKU Timur yang membantu untuk memperbaiki atap bocor,” cerita Herizal.
Herizal sendiri selama beraktifitas di RSPH mendapatkan banyak pelajaran dari orang tua yang mendampingi anaknya selama masa pengobatan. “Jika ujian penyakit anak itu dibebankan kepada kita, mungkin kita belum tentu sanggup untuk menerima,” papar Herizal dengan nada suara rendah.
Secara psikologis, orang tua pasien ada yang belum siap menerima ketika anaknya diagnose mengidap penyakit kanker. “Pernah waktu itu ada orang tua pasien yang mencoba untuk bunuh diri setelah mengetahui anaknya terdiagnosa kanker,” tutur Herizal.
Belum lagi dari sisi ekonomi, setiap mereka yang mendampingi anaknya selama masa pengobatan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Meskipun sebenarnya, biaya pengobatan telah ditanggung rumah sakit melalui BPJS, tapi kebutuhan harian seperti biaya transportasi dan konsumsi pendamping pasien masih harus ditanggung sendiri oleh keluarga pasien.
Untuk memenuhi kebutuhan harian tersebut, tak sedikit dari orang tua pasien yang sudah mengorbankan harta benda demi satu harapan, kesembuhan sang pelita hati. Di antara mereka ada yang bahkan sampai menjual rumah, kendaraan, hingga melepas aset produktif seperti kebun untuk membiayai kebutuhan harian selama pengobatan.
Walaupun derita dan cobaan yang dialami pasien kanker dan orang tuanya, mereka tetap masih bisa tersenyum dan menerima keadaan dengan segala konsekuensinya.
“Di saat inilah kadang kita merasa bersyukur, ternyata masih ada orang yang lebih susah dari kita,” papar bapak tiga anak ini. Sesekali kita butuh melihat ke bawah sebagai pemantik rasa syukur atas nikmat yang dianugerahkan. Hal ini juga selalu menjadi bahan pembelajaran tak ternilai baginya dalam memaknai kesyukuran.
“Jika melihat orang yang di atas kita sebagai motivasi, maka untuk bersyukur, dengan melihat mereka yang berada di bawah,” pungkasnya. (Wan/KJ-04)