Setelah Aksi Bela Islam 212 yang menghadirkan jutaan orang, umat seolah disadarkan kekuatan berjamaah. Perbedaan pendapat dalam furuiyyah tak lagi penting. Kini semua bergandengan tangan menyongsong kembalinya masa kejayaan. Termasuk kejayaan Ekonomi Islam.
Kita bisa melihat, belum genap 2 tahun saja sudah banyak sekali muncul pergerakan-pergerakan perekonomian umat. Muncul puluhan bahkan ratusan minimarket yang berbasis jamaah masjid dan komunitas dengan berbasis lembaga dakwah, koperasi, perusahaan, dan sebagainya yang dengan beragam nama terpampang nyata di mata kita saat ini.Kita sebut saja seperti yang sedang booming adalah 212 Mart, KITAMart, Sodaqo Mart, Daya Mart, dan masih banyak lagi.
Persoalan umat yang paling mendesak terlihat dari kesenjangan ditandai dengan tingkat rasio gini yang masih cukup tinggi yaitu di angka 0,39 persen, angka ini menunjukan akan ketidakberdayaan negara dalam memangkas kesenjangan sosial. Angka ini menurun 0,02 persen dibandingkan posisi Maret 2015 yang sebesar 0,41, tapi pertumbuhan yang condong lebih memberikan manfaat kepada kelompok menengah ke atas.
Kesenjangan sosial menjadi entitas dari rapuhkan ekonomi umat. Apalagi selepas krisis ekonomi 1998 dan keruntuhan Orde Baru, kekuatan ekonomi umat Islam semakin lemah hingga tindak mampu menguasai pusa-pusat perdagangan. Saat ini Indonesia berada pada titik darurat ketimpangan. Fakta lain bahwa umat Islam Indonesia itu jumlahnya 87 persen total penduduk Indonesia. Tapi hanya menguasai 12 persen total ekonomi Indonesia. Data yang mengejutkan yang mengatakan bahwa umat Muslim Indonesia yang mayoritas dalam jumlah, ternyata hanya menguasai 12 persen ekonomi.
Umat Muslim masih menganggap urusan ekonomi dan bisnis bukan yang utama. Hal ini menyebabkan ketertinggalan di bidang ekonomi dibanding umat agama lain. Salah satu indikator dalam bidang ekonomi tentang keterpurukan umat Islam adalah data tentang kepemilikan aset nasional. Penguasaan aset nasional umat Muslim didapat sebagin besar bukan hasil pembelian melainkan penguasaan itu kebanyakan karena pemberian negara. Hanya satu persen rakyat Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara satu persen itu mayoritas mutlak bukanlah warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Kesenjangan antara pelaku usaha di Indonesia masih terlalu besar. Pelaku UKM yang merupakan mayoritas, hanya menguasai aset yang begitu kecil. Sebaliknya, usaha besar yang minoritas, justru menguasai hampir seluruh aset swasta nasional. Perlu penataaan kembali atau redistribusi aset untuk memperkecil kesenjangan ini. Di sinilah perlu adanya koperasi dan UKM incorporated. Sehingga seluruh elemen bangsa bisa menggerakan ekonomi umat yang mampu membangun networking atau jejaring sinergis yang saling menguntungkan antara elemen-elemen bangsa di kelompok-kelompok ekonomi umat.
Karenanya, umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini memiliki tanggung jawab yang besar pula untuk memperbaiki ekonomi nasional. Bagi umat Islam seharusnya paham dan sadar, bahwa sebetulnya ajaran Islam sangat concern dalam pengentasan kemiskinan, karena dalam Islam ada asas pemerataan dan prinsip pemberdayaan dengan zakat, infaq, dan shadaqah. Islam memberikan solusi agar terjadi keseimbangan, meminimalisasi diskriminasi dan ketimpangan sosial.
Dompet Dhuafa sendiri sudah menggagas sebuah model program pemberdayaan berbasis minimarket (ritel) bernama Daya Mart. Hal ini sebagai salah satu ikhtiar memandirikan masyarakat miskin sejak satu tahun terakhir.
“Konsepnya bukan bisnis murni, tapi sosial bisnis. Minimarket didirikan dan menjadikan masyarakat miskin sebagai pemiliknya. Keuntungan usaha minimarket ini juga disalurkan untuk membantu masyarakat miskin,” ujar Musfi Yendra, penggagas program Daya Mart saat peluncuran program di sela-sela pameran Indonesia Philantropy Festival 2016, Ahad (9/10) di Jakarta.
Musfi menerangkan, program Daya Mart bukan sekadar mendirikan minimarket kemudian diserahkan ke masyarakat miskin. Kalau begitu tentu tak akan berkembang atau bisa bangkrut. Karena perkembangan usaha apapun tergantung manajemen dan sistem.
“Dalam proses pendirian, Dompet Dhuafa bekerjasama dengan konsultan ritel. Usaha sosial ini dijalankan dan didampingi tenaga profesional. Karyawan yang bekerja adalah dhuafa yang dilatih manajemen, sistem IT, marketing dan kerja tim,” jelasnya.
Sebagai model percontohan secara nasional program pemberdayaan minimarket ini akan dimulai di Padang. Diberi nama Daya Mart, agar kemudian masyarakat mustahik bisa berdaya dan mandiri melalui program ini. Selain membina para mustahik untuk belajar bisnis ritel, Daya Mart juga melakukan pembinaan terhadap warung/kios/lapau yang berada di sekitar minimarket ini.
“Pembinaan berupa manajemen dan modal usaha dalam bentuk suplai barang dengan harga yang lebih murah. Tujuannya agar terbentuk kemandirian kolektif dalam masyarakat,” terang Musfi.
Daya Mart diharapkan menjadi daya ungkit pelaku usaha mikro dan UKM. Mereka mendapatkan akses outlet dan bisa melejitkan usahanya. Daya Mart berlokasi di Jalan Raya Ulu Gadut No.9 Lubuk Kilangan, Padang. Saat ini, Daya Mart dalam masa sibuk-sibuknya memasok berbagai jenis produk dari distributor layaknya minimarket pada umumnya. Meski begitu, Daya Mart yang berbasis nilai Keislaman, tidak memasok produk yang dinilai haram dan merusak, seperti minuman beralkohol dan rokok.
Kita baru memulai dan perjuangan kita masih amat panjang. Target kita masih jauh dan masih banyak rintangan dan hambatan yang akan kita hadapi di kemudian hari. Kita boleh senang, tapi jangan merasa puas dulu. Apabila berbangga hati dengan pencapaian yang kita raih saat ini, perlu terus saling mengingatkan dan bahu membahu untuk menjalin kerjasama. Mari membangun ekonomi Rabbani. Kita kembali bersatu, bangkit, dan maju. Insya Allah.