Dulunya saya itu memang kepinginnya menjadi seorang pengusaha. Sehingga saya bisa bantu suami mencari nafkah, tapi juga saya bisa hadir untuk anak-anak saya. Dan alhamdulillah tercapai. Saya bisa memberikan waktu untuk anak-anak, dan juga saya bisa berbuat banyak tanpa harus terikat waktu.
Jadi saya sangat mensupport Ibu-ibu muda, calon ibu yang masih gadis, masih bisa membagi waktu bolehlah kalau mau menjadi pegawai. Namun alangkah baiknya jika sewaktu-waktu kita punya cita-cita, supaya meluangkan waktu untuk lebih banyak ke anak-anak. Karena bekal paling awal itu adalah dari rumah. Madrasah Awwalun itu adalah rumah. Jadi ibu-ibu itu benar-benar jadi tumpuan. Mau jadi apa anak kita ke depan, ada peran ibu di sana.
Saya mulai merintis usaha itu dari tahun 2003, mulanya selepas kuliah saya bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan properti. Terinspirasi dari buku Robert T Kiyosaki. Lalu memulai usaha dari merenovasi rumah dahulu.
Januari 2005 saya menikah, pertengahan tahun saya hamil. Di sanalah saya menyampaikan memo ke suami, bahwa jika tidak memungkinkan, biar saya mundur ke belakang saja. Suami yang fokus ke depan. Sehingga mulai 2007, saya sudah enggak terlalu aktif. Lebih banyak membantu dari rumah.
Apalagi sekarang perkembangan media sudah cepat tuh. Sekarang mau lihat apa saja mudah. Apalagi kita sudah membangun sistem. Insya Allah, sekarang semuanya mudah. Mau mobile ke manapun mudah, walaupun orangnya mantep saja di rumah. Sewaktu-waktu saja kita pergi melihat perkembangan usaha.
Saya dan suami sudah komitmen untuk saling support. Salah satunya dari kebiasaan. Saya itu hobi baca, sedangkan suami suka mendengarkan. Jadi saya suka cerita apa yang saya baca kepada suami. Tapi di luar itu, visi kami sama. Untuk sepuluh tahun ke depan akan dibawa kemana perusahaan kami, akan dibawa ke mana anak-anak kami. Mau berbuat apa kami ke masyarakat, itu kami rintis dari awal. Tinggal kami yang menjalankan proses.
Jadi, kan adanya yang namanya mimpi, cita-cita. Kita punya mindset yang udah dipatok. Cita-cita mau ke sini. Kita punya satu buku sama-sama yang terus kita komunikasikan bersama. Termasuk langkah-langkah yang harus dilalui untuk mencapainya. Sehingga kita nggak berlari dari alur. Jadi semisal suatu saat semisalnya ada gejolak, kita balik ke mindset kita tadi.
Dalam mendidik anak pun kita sudah membuat tahapan. Sekarang dia sudah duduk di kelas 3 SD, misal SMP nanti mau kita pengen anak kita mau jadi seperti apa. Dan sudah kita tanamkan, “Mas kalau nanti jadi hafiz Quran, nanti bisa masuk ke dalam surga”. Kita udah tanamkan dari kecil. Kita sudah polakan anak-anak, namun tidak memaksa mereka mau jadi apa. Silahkan mereka memilih. Cuma kita arahkan mereka, supaya tetap ada rule-nya.
Saya berusaha menikmati dua peran di dunia usaha dan di rumah tangga. Berusaha kedua-duanya jalan bareng. Anak yang pertama kan sudah sekolah kelas 3, sedangkan yang kecil masih bayi. Jadi kalau Mas-nya sudah sekolah, saya bisa memantau aktivitas bisnis dari rumah saja melalui gadget. Jadi sesuai dengan cita-cita saya, saya lebih banyak di rumah dan tetap bisa membantu suami. Walaupun ke depannya, wallahualam bishawab, mau jadi seperti apa, pokoknya hari ini kita menjalaninya seperti ini.
Saran saya untuk ibu-ibu, kalau bisa jadi pengusaha deh. Biar suami saja yang jadi karyawan, karena tidak dituntut untuk selalu berada di rumah seperti istri. Punya cita-cita boleh saja tinggi, namun tetap harus pulang ke rumah. Ketika dia bisa berkarir maksimal, itu alhamdulillah. Kalau bisa membagi waktu, itu dua jempol. Yang penting jangan sampai, karir melupakan keluarga. Melupakan kewajiban sebagai seorang ibu. (KJ-04)