Belajar Bisnis

 Oleh : Dessi Arisanti *

Dari hadits shahih, bahwa “Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah berdagang,” atau “19 dari 20 pintu rezeki adalah berdagang”. Hadits ini saya gunakan sebagai  petikan hikmah dari kejadian yang dialami oleh adik bungsu saya, Ivan.

Suatu ketika handphone miliknya rusak, ketika ia ingin menggantinya, orangtua kami menolak, karena belum memprioritaskan hal itu. Saya pun memberi opsi bantuan, dengan membelikan handphone baru, tetapi dengan syarat, ia harus mencicil Rp 50.000 per bulan.

Walaupun sebenarnya itu hanya akal-akalan saya agar si bungsu Ivan yang masih duduk di SMA kelas XI mulai belajar bertanggung jawab. Mulai berusaha belajar bahwa segala sesuatu yang ia inginkan harus ia perjuangkan untuk mendapatkannya. Ternyata ia tidak keberatan, karena hal itu berarti ia hanya menyisihkan Rp. 1500 uang jajannya per hari, maka ia pun menyanggupi.

Selang satu bulan, tibalah saat ia membayar cicilannya tersebut. Namun tak disangka, ia menjawab tidak ada uang sepeser pun, karena sudah habis dipakai untuk bermain futsal bersama teman-temannya. Mendengar hal itu, saya hanya berkata, “Pengeluaran kamu lebih besar dari pemasukan…”

Hal ini mengharuskan Ivan mencari pemasukan rutin, agar cicilan dan aktivitas yang lain bisa berjalan beriringan.

Awalnya terdesak

Ketika Ivan sibuk memikirkan caranya (selain ‘menadah’ dari orang tua dan saudara-saudara tentunya), saya kembali memberi pilihan kepadanya untuk mulai berjualan makanan di sekolahnya. Eh, tanpa disangka langsung disanggupi dengan positif. Mengingat pada usia SMA adalah masa rawan jaim alias jaga image dan masa ego ingin jadi pusat perhatian.

Setelah setuju dengan ide itu, mulailah ia berjualan. Dengan modal Rp 20.000 ia berjualan risol dan pempek di sekolahnya. Alhamdulillah sewaktu mau menjajakan dagangannya untuk pertama kali, ia dibantu temannya menawarkan kepada teman- teman sekelas, lalu ke kelas sebelahnya. Penjualan hari pertama sukses. Modal balik, keuntungan 100%. Ivan pun sumringah, lalu dengan semangat membara dan optimisme yang tinggi, ia mau berjualan lagi keesokan harinya. Setelah satu minggu berjualan, ivan berhasil mengumpulkan uang Rp 120 ribu.

Malamnya ia pun mengurai kisah suksesnya, dengan muka berseri-seri ia mengatakan bahwa pilihannya untuk berjualan sangat tepat.

Walau pada awalnya merupakan desakan kebutuhan, namun ternyata sekarang ia malah sayang kalau absen berjualan, karena mengingat keuntungan yang ia dapat. Kami lalu menyindir, kalau ia hanya sayang dengan uangnya saja.

Tapi secara mengejutkan, ia mulai mengurai satu-persatu mengenai keuntungan yang didapat, tentunya versi dia sendiri. Pertama, uang adalah keniscayaan, “Karena kalau nggak untung, ngapain berdagang?”

Kedua, dia mulai tahu artinya uang, bagaimana pengaturan modal dan penggunaan uangnya, menyimpannya untuk memenuhi keinginan lainnya.

Ketiga, punya banyak teman, hal ini otomatis, karena dalam berdagang, kita butuh banyak langganan pembeli tetap, sehingga kita harus mampu mempertahankan pembeli, agar barang dagangan kita habis terjual.

Keempat, disenangi guru, dengan nilai yang tetap baik dan kemauan berusaha, guru jadi lebih menghargai kita, daripada hanya meminta dengan orang tua. Terakhir, belajar mencari peluang baru, supaya mendapat keuntungan yang lebih besar lagi.

Tentunya, bisa sedekah sekehendak kita dan sebanyaknya, karena uang itu punya kita sendiri. Kalau sudah seperti ini, siapa yang tidak merasa rugi kalau tidak berdagang.

Ternyata hadits di atas sangat benar adanya, maka tak heran ketika sahabat Rasulullah Saw, Abdurahman bin Auf ra, mengatakan, “Cukup tunjukkan dimana pasar?” sewaktu hijrah ke Madinah, maka ia menjadi salah satu sahabat terkaya di zamannya. Masya Allah. (*)

—-

* Manajer Divisi Pendidikan DSIM

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter