Oleh : Defri Hanas, ST
Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2014 yang direlease BPS, pada angka 68,28 dalam skala 100. Artinya masyarakat Indonesia semakin tinggi tingkat kebahagiaannya dibanding tahun 2013. Ini diukur dalam 10 aspek, dari yang bisa diukur hingga hal yang abstrak.
Pendapatan Rumah Tangga menjadi parameter pertama dalam indeks kebahagiaan dan indonesia memiliki indeks 63,09, artinya indonesia memiliki penghasilan yang cenderung membaik dari tahun 2013. Indeks terendah adalah Pendidikan yang memperoleh angka 55,19 yang menurun dari tahun sebelumnya. Sedangkan indeks tertinggi diperoleh oleh kategori Keharmonisan Keluarga dengan angka 78,89.
Angka ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengutamakan keluarga. Dari paparan indeks kebahagiaan yang direlease BPS menggambarkan bahwa hal-hal abstrak, perasaan bagi kebanyakan masyarakat indonesia lebih diutamakan dibanding kategori yang bisa diukur secara kongkrit. Keharmonisan Keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keamaan dan lingkungan memperoleh indeks diatas 70 poin.
Sedangkan pendapatan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan aset memperoleh angka dibawah 70 poin.
Mungkin orang indonesia banyak bersyukur dengan segala kondisi yang mereka terima, seperti koes plus menggambarkan bangsa indonesia,
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
(Lirik Kolam Susu-Koes Plus)
Materi hanya semata-mata bagian dasar yang harus dipenuhi orang dalam hidup. Orang yang bahagia adalah orang yang minimal mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, jika orang yang sama sekali tidak memiliki materi dan mengatakan bahagia, itulah yang dinamakan sikap “pasrah” dan itu bukan “tawakal”. Sikap inilah yang hanya ada di kehidupan bangsa Indonesia, dan tidak ada di kamus kebahagiaan yang sedang dikembangkan selama ini dan bahagia selalu diidentikkan dengan material. Dan ini didukung oleh Maslow, “kebahagiaan tertinggi non material, tetapi yang paling bawah adalah material”.
Merubah pola kehidupan sosial masyarakat yang menjadikan ‘material ukuran mutlak bahagianya’ atau ‘bersikap pasrah namun tidak mau berusaha’ memenuhi kebutuhannya mesti dirubah. Intervensi perubahannya dimulai dengan perubahan mindset dan penyadaran secara psico-religius. Perbaikan bisa dilakukan oleh semua umara dan alim ulama yang saling bahu membahu, dan dimulai dengan kelompok-kelompok kecil dalam unit masyarakat.
Penopang utamanya dimulai dengan keluarga, keluarga yang sadar dengan perbaikan diri, anggota keluarga dan sadar sosial tentunya. Cukup satu orang agent perbaikan yang hadir ditengah-tengah keluarga, yang bisa dan teguh membawa amalan-amalan soleh dan mampu mengimplementasikan dalam lingkar kendalinya, yaitu keluarganya.
Kesadaran pribadi dilanjutkan kesadaran kolektif didalam masyarakat, dengan tujuan akhir menciptakan masyarakat yang sadar akan kebahagiaan hakiki namun tidak meninggalkan dasar membangunnya. Masyarakat yang saling mengingatkan dan selalu memberikan ta’awwun, pertolongan walau anggota masyarakat lainnya tidak meminta pertolongan. Kita akan menyaksikan masyarakat yang memperlihatkan ukhuwwah dan negeri madani sesungguhnya. Dan masyarakat seperti inilah yang jadi pijakan utama memperbaiki bangsa yang katanya cukup bahagia ini.
Tujuan akhir yang bisa dicapai adalah manusia yang memiliki kebahagiaan dan bisa membahagiakan dengan potensi yang ia punya. Ketika ia mempunyai kelebihan, maka kelebihan itu bisa ditularkan dan diberikan kepada orang lain. Ia bahagia ketika orang berbahagia melalui tangannya. Ia selalu bersyukur bila membuat senyum yang merekah di wajah dhuafa yang ia bantu. Berbahagia menjadi orang baik saudaraku.
Semoga Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan yang lebih baik, yang melahirkan jiwa-jiwa yang baik lagi bahagia, yang mempu membahagia orang orang lain dengan penuh keikhlasan.
Selamat Idul Fitri, selamat berbahagia, selamat telah melalui berbagai ujian. Mari hidup bahagia dan membahagiakan. (*)