Ditinggal sang bunda saat masih berumur lima tahun, Wafik Azizah dirawat oleh neneknya. Beberapa tahun mendapat limpahan kasih sayang dari sang Nenek, ajal duluan menjemput satu-satunya nenek kandungnya sebelum ia mencecap penuh kasih sayang seorang wanita di masa tumbuhnya. Wafik pun diasuh sang kakak satu-satunya yang terpaut tujuh tahun usia dengannya. Menghabiskan waktu di Desa Sumber Mekar Mukti Kecamatan Tanjung Lago Telang II Jalur 17 Banyuasin, kini Wafik tumbuh menjadi remaja yang punya cita-cita tinggi, setamat SD ingin sekolah di pesantren, ingin menjadi guru.
Sementara sang ayah, Atim (37) merantau ke Palembang. Bekerja serabutan. Kadang ikut orang membangun rumah, kadang saat tak ada pekerjaan ia menarik becak di Pasar Sako Palembang dengan penghasilan pas-pasan. “Ditanya penghasilan ya sama kayak penarik becak yang lain, nggak menentu. Kalo lagi bulan muda, penghasian lumayan banyak. Namun kalo ujung bulan ya sedikit. Cukup buat bayar kontrakan berdua dengan sesama teman, sisanya dikumpul-kumpulin buat ngirim anak-anak di Jalur,” ujarnya polos.
Atim kaget saat pulang ke Jalur, sang anak mengungkapkan ingin melanjutkan sekolah ke pesantren. “Wah, saya kaget campur senang, saat Azizah bilang mau sekolah ke pesantren. Senang karena anak saya punya cita-cita tinggi. Kagetnya, Saya malah kepikiran uangnya dari mana, uangnya nggak ada”, cerita Atim saat menemani Azizah silaturahim ke kantor DD Sumsel, Jumat (5/7) lalu.
Tapi ya dasar memang semua Allah yang atur, Atim dipertemukan dengan teman guru ngajinya, “Jadi saya itu sering diajak ngaji. Nah dengan guru saya ini, saya menyampaikan keinginan Azizah tadi. Eh ia malah menanggapi dengan antusias. ‘Pakde, ya sudah kita coba bantu mendaftar ke Ponpes Raudhatul Ulum Sakatiga Ogan Ilir ya’, begitu dia bilang”, ujar Atim.
Waktu mendaftar dan menemani Azizah tes masuk, Atim mengaku sempat termenung di parkiran pesantren memperhatikan mobil orangtua dan wali yang mendaftarkan anak mereka. “Apa iya anak saya bisa lulus tes, apa iya saya mampu membiayai Azizah nantinya. Lha ini mereka datang ke sini saja pakai mobil bagus, saya Cuma naik bis”, kenangnya.
“Tapi saya bismillah aja, dibilang nekat ya nekat. Pokoknya saya kepengen punya anak pintar. Anak saya yang satunya Soleh, juga bilang. ‘Pak untuk biaya sekolah Azizah saya juga akan bantu,” ujar bapak dua orang anak ini yang ikut program transmigran ke Jalur sejak usia 7 tahun ini.
Azizah cukup pemalu saat diajak berbicara, namun otaknya cukup cerdas melewati tes membaca Al Quran dan tes bidang studi. Ia pun dinyatakan lulus untuk masuk Kelas Unggulan. “Saya saja bingung awalnya mau pilih kelas mana, reguler apa unggulan. Tapi oleh guru ngaji saya, didorong untuk memilih kelas Unggulan. Ya saya manut saja”, tuturnya lugu. Bahkan untuk mengisi formulir saja ia minta bantuan temannya. “Saya nggak bisa baca tulis, soalnya saya cuma sekolah SD sampe kelas 1”, ujarnya kalem.
Saat disodorkan sejumlah angka biaya pendaftaran yang cukup besar, Atim cukup kaget. “Saya tanya sama mbak yang jaga pendaftaran, ini biaya untuk setahun ya mbak? Mbak itu jawab, ‘Bukan Pak, untuk satu bulan’. Mau darimana uangnya saya pasrah sama yang di atas”, ceritanya.
Rupanya guru ngajinya tadi udah punya cara, Atim disarankan mengajukan permohonan bantuan untuk melunasi biaya masuk yang menyampai angka delapan juta rupiah tersebut ke Dompet Dhuafa Sumsel. Setelah dipelajari berkas dan pengajuannya, akhirnya DD Sumsel membantu biaya pendaftaran Azizah dan biaya selama satu bulan ke depan.
“Alhamdulillah, dapat bantuan biaya masuk saja saya sudah senang sekali. Insya Allah, untuk biaya pendidikan tiap bulannya akan saya usahakan sendiri. Yang penting anak saya bisa sekolah pesantren sesuai keinginannya, semoga ia menjadi anak yang berguna untuk bangsa, negara agama dan berbakti kepada orangtua”, demikian harapan Atim kepada sang anak, sebagaimana dituliskannya di berkas pengajuan permohonan. (KJ-04)