Palembang, DD Sumsel — Salah satu pemerhati sosial politik dari FISIP UNSRI, Dr Alftri MSc juga hadir dalam kesempatan diskusi panel Poverty Outlook yang diselenggarakan pada akhir Januari lalu. Panelis terakhir dalam diskusi tersebut termasuk yang berapi-api dalam menyampaikan pandangannya mengenai akar penyebab kemiskinan. Apa itu? Simak transkrip pemaparannya di bawah ini :
“Persoalan kemiskinan adalah persoalan kita bersama. Saya coba mengkaji akar dari permasalahan kemiskinan ini dan saya melihat soalnya ada di Social Capital. Karena ternyata kesadaran tentang Social Capital ini yang menyebabkan kita masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang tidak pernah berakhir.
Padahal, jika kita mengacu kepada negara-negara yang sudah meninggalkan persoalan kemiskinan, ternyata Social Capital inilah yang menjadi sisi utamanya. Sebagai contoh negara Brazil. Mereka berani mengalokasikan dana APBN-nya sebesar 70% untuk masyarakat sipil.
Setelah saya lihat, ini menyangkut masalah Social Capital. Sedangkan salah satu yang mendorong Social Capital adalah masalah trust. Kepercayaan.
Kepercayaan inilah yang menjadi barang mahal di Republik ini.Kepercayaan dibentuk dari basis kejujuraan. Dan kejujuran ini yang masih jauh. Oleh sebab itu saya melihat penanganan akar penyebab kemiskinan ini bisa dilihat dari cara pandang, tindakan dan nilai.
Masalah sudut pandang dapat kita lihat, bagaimana kita senantiasa memandang kemiskinan kepada orang miskin saja. Jarang kita menyoroti kepada orang kaya. Maka muncullah ketimpangan dan kesenjangan.
Padahal untuk menghapus kemiskinan, kita harus membanyun kesadaran kepada orang kaya. Nah, hal inilah yang belum kita bangun ini. Kita hanya melihat, ‘O, banyak orang miskin. O, masih berkeliaran orang miskin’. Tetapi, yang kaya tidak pernah disentuh kesadarannya. Inilah bagaimana kita membangunnya, seperti yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa ini.
Kalau kita melihat ke negeri tetangga Malaysia. Itu mereka sudah menjadikan zakat sebagai pilar pembiayaan negara. Sangat luar biasa itu.
Pada saat terjadi krisi tahun 1998, sama kita krisis Malaysia juga krisis. Tetapi Malaysia ditopang oleh Tabungan Petronas dan zakatnya. Sehingga mereka waktu itu tidak bergantung pada pihak lain, seperti IMF.
Saat saya workshop di sana, saya melihat implementasi zakat sudah mencapai ke bawah. Sudah digalakkan hingga ke kampus-kampus. Kita di sini, saat kelas menengah sudah berkembang. Mana itu yang membayar zakat. Paling juga menjelag bulan puasa. Itupun cuma 2,5 kilo beras.
Alangkah kecilnya. Padahal, setiap penghasilan kita itu, ada hak orang miskin. Itu menurut ajaran Islam. Kata Amien Rais, yang jumlahnya kecil itu wajibnya. Yang tidak wajib seharusnya bisa lebih besar.
Bayangkan, jika kesadaran itu sudah terbangun. Setiap orang dipotong zakat penghasilan sebesar 2,5% dan disimpan dalam bentuk tabungan, maka saya yakin jumlahnya bisa mencapai 2-3 triliun. Mengalahkan APBD Sumsel.
Saya membagi kelas masyarakat itu menjadi tiga bagian. Kelas Kaya, Kelas Menengah dan Kelas Miskin. Jika selama ini kita memandang kemiskinan hanya kepada kelas miskin saja, maka sekarang dibalik cara pandang itu. Kita melihatnya ke kelas menengah dan kelas kaya. Tujuannya apa, supaya potensi yang ada di kedua kelas tadi terbagi. Bagaimana uang orang kaya bisa terbagi kepada orang miskin.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah kemiskinan bukanlah pekerjaan pemerintah saja. Yang kita tahu, anggaran untuk kemiskinan ini dari tahun ke tahun jumlahnya terus berkurang. Hal ini, bisa jadi menurut hemat saya adalah untuk lebih mengoptimalkan peran dunia usaha dan swasta, serta masyarakat sipil. Namun, juga tentu perlu peran pemerintah untuk lebih meningkatkan Trust masyarakat kepada lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa ini.
Jika tidak, maka pemerintah dapat dianggap melanggar Undang-Undang karena berlepas tangan terhadap urusan kemiskinan ini. Sehingga perlulah ditingkatkan sinergi antara masyarakat sipil, dunia usaha dan pemerintah. Dengan tetap mempertahankan peran strategis pemerintah itu sendiri.
Termasuk pula dengan memperkuat peran korporasi dan peran masyarakat sipil kepada masyarakat miskin. Yang saat ini, masih terkendala dengan perilaku di tengah masyarakat : Makin kaya makin bakhil. Di sinilah kita butuh kesadaran individu dan kolektif, lalu semangat kebersamaan dan kegotongroyongan. Jangan sendiri-sendiri apalagi untuk pencitraan saat menjelang kampanye saja.
Dan kesimpulan yang terakhir, adalah membangun kepercayaan kolektif melalui kelembagaan yang kredibel dan akuntabel seperti Dompet Dhuafa. Saya percaya dengan Dompet Dhuafa, bila melihat laporan penghimpunan dan penyalurannya, serta jumlah penerima manfaatnya. (KJ-04)