Akses Peluang Pekerjaan Baru bagi Masyarakat Difabel di Era Industri 4.0

Pada dasarnya, bekerja adalah pengejawantahan hak asasi setiap manusia di usia produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tuntutan pemenuhan kebutuhan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan berlaku bagi setiap manusia, tidak memandang golongan, ras, suku, bangsa, usia, termasuk kondisi fisik dan psikis.

Namun kenyataannya, hingga kini, masyarakat difabel masih belum mendapatkan kesempatan yang sama dalam urusan mendapat pekerjaan, akses ke sumber nafkah dan lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang nondifabel, mereka masih banyak menghadapi aneka diskriminasi.

Tidak hanya itu masyarakat difabel masih merasakan kurangnya pelayanan ketenagakerjaan publik yang mendukung serta rendahnya kesadaran untuk patuh terhadap kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjaan masyarakat difabel.

Dalam aspek legal perundang-undangan, terkait pemberian kesempatan yang sama bagi kaum difabel untuk mendapatkan pekerjaan, sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Hak Penyandang Disabilitas pun telah mengatur kebijakan untuk pihak pemberi kerja.

Dalam Pasal 47 UU tersebut menyatakan, ‘Pemberi Kerja dalam proses rekrutmen tenaga kerja Penyandang Disabilitas dapat: (a) melakukan ujian penempatan untuk mengetahui minat, bakat, dan kemampuan; (b) menyediakan asistensi dalam proses pengisian formulir aplikasi dan proses lainnya yang diperlukan; (c) menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan kondisi disabilitas; dan (d) memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes sesuai dengan kondisi Penyandang Disabilitas.

Namun, meski telah dibuatkan aturan selama UU tersebut, ironisnya hingga kini, tidak ada aturan turunan yang mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan tersebut. Lebih lagi, belum ada data pasti berapa jumlah instansi dan perusahaan yang mematuhi peraturan itu.

Adapun beberapa ragam pelatihan yang diberikan pada masyarakat difabel belum sepenuhnya berorientasi pada sektor kebutuhan pasar kerja.

Umumnya, pelatihan yang diberikan lebih banyak kepada keterampilan untuk kemandirian usaha. Sedangkan, tidak semua masyarakat difabel memiliki jiwa enterpreneur.

Sekian faktor eksternal di atas, hambatan juga datang dari internal individu difabel itu sendiri, mereka yang lebih melihat kepada minimnya peluang kerja dan ragam pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Sehingga kurangnya mempersiapkan diri untuk mampu bersaing dalam menembus pasar kerja.

Kalau bagaimana dengan era Industri 4.0 sekarang ini?

Kabar baiknya, masih ada alternatif solusi seiring dengan kemajuan teknologi informasi di masa Industri 4.0 ini.

Di antaranya terciptanya bentuk-bentuk pekerjaan baru, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ditambah dengan integrasi hubungan kerja inklusif bagi masyarakat difabel.

Sehingga, kemajuan yang terjadi, diharapkan dapat membentuk paradigma baru untuk mendorong inklusi dan meningkatkan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas.

Sebab, teknologi memungkinkan pasar global untuk saling berinteraksi dengan lebih mudah dan efektif. Selain itu, perkembangan fasilitas dan fungsi teknologi yang semakin memudahkan akses terhadap teknologi, termasuk bagi penyandang disabilitas.

Pekerjaan-pekerjaan baru berbasis digital bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini juga disebabkan fleksibilitas yang ditawarkan teknologi. Pekerja yang memanfaatkan teknologi dapat memilih dengan bebas jenis pekerjaan maupun jam kerja.

Pemanfaatan teknologi juga memungkinkan berbagai lapisan masyarakat untuk bekerja secara mandiri atau membuka usaha. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin berkembang, penyandang disabilitas dapat lebih terbantu.

Seperti yang dilakaukan salah satu pengusaha Muda indonesia yang sudah membina para masyakat difabel yang memiliki perusahaan bernama Techbros GmbH di Jerman, Yudhi Rahadian.

Dari tahun 2018 Yudhi telah melakukan pelatihan IT di beberapa kota yang dikhususkan bagi masyarakat difabel. Biaya yang dikeluarkan masyarakat difabel relatif terjangkau bagi mereka, pelatihan juga diisi dengan materi yang dibutuhkan dunia kerja bidang telekomunikasi, seperti android untuk pemula, web development, graphic design, hingga robotic dan public speaking. Formula ajaran pun dibuat khusus sehingga peserta mampu dengan cepat menyerap, dan menerapkannya di dunia kerja.

Ini hanya salah satu dari kepedulian pengusaha muda asal Indonesia yang bisa menjadikan kita contoh untuk turut andil memperhatikan lingkungan para masyarakat difabel dalam dunia kerja saat ini, sebetulnya masih banyak lagi seperti NGO, Akademisi, Tokoh Masyarkat, dan lain sebagainya. Terus melakukan upaya nyata untuk mengikutkan masyarakat difabel dalam kegiatan pertumbuhan ekonomi bersama-sama. (**)

Penulis: Sri Rahmawati HC DD Sumsel


Referensi
Mervyn, K., Simon, A., & Allen, D. K. (2014). Digital inclusion and social inclusion: a tale of two cities. Information Communication and Society, 17(9), 1086–1104. https://doi.org/10.1080/1369118X.2013.877952
Koneksi Indonesia Inklusif. (2021). Ketenagakerjaan Inklusif.
https://www.merdeka.com/uang/hadapi-industri-40-pengusaha-muda-bina-penyandang-disabilitas-jadi-ahli-it.html
Sumber: Fundación ONCE and the ILO Global Business and Disability Network, “Making the future of work inclusive of people with disabilities”, 2019. Direktur Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas.).

bagikan ke >>

WhatsApp
Facebook
Twitter